Refleksi September Hitam, Menangkal Delusi ‘Hantu PKI’

  • Bagikan

Peristiwa berdarah G30S (Gerakan 30 September) atau disebut Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah misteri kelam yang membawa implikasi yang sangat luas bagi sejarah nasional Indonesia.

Sebuah peristiwa yang bukan hanya membalik narasi sejarah, namun juga membalik semua konstelasi perpolitikan Indonesia pasca Soekarno.

Setelah peristiwa G30S terjadi, rezim Soeharto (yang menamai rezimnya sebagai Orde Baru) melakukan berbagai macam propoganda yang tujuannya bukan saja hanya untuk membasmi komunisme di Indonesia, namun sekaligus juga membangkitkan kebencian massa terhadap politik Soekarno dan PKI.

Sehingga kekuasaan Pemimpin Besar Revolusi itu pun melemah dan pada akhirnya harus turun dari kekuasaannya. Di bawah Soeharto, hantu PKI menjadi agama negara, narasi-narasi penuh kebohongan tentang bahayanya ideologi komunisme dan betapa kejamnya orang-orang PKI saat peristiwa G30S terus saja di produksi sepanjang 32 tahun kekuasaannya, melalui monumen, buku, upacara, hingga film.

Semua hal ini adalah upaya rezim orde baru yang dalam istilah Harold Marcusee disebut sebagai ‘politik memori’, yakni upaya rezim mengontrol ingatan masyarakat tentang peristiwa atau periode tertentu yang dialami secara kolektif, yang upaya mengingatnya dimonopoli dan dikendalikan oleh kekuasaan karena alasan politis.

Politik memori inilah yang kemudian menentukan bagaimana cara sejarah ditulis dan diwariskan. Dampaknya masih terasa sampai sekarang, bagi masyarakat Indonesia PKI beserta paham komunisme yang sudah lama mati itu masih mejadi hantu yang sangat menakutkan dan bisa bangkit kapan saja.

Karena terus mengkonsumsi berbagai propoganda rezim Soeharto selama 32 tahun, masyarakat kita menjadi sakit dan mengalami sebuah delusi. Delusi dalam istilah medis adalah sebuah gangguan pemikiran, seorang menyakini sesuatu yang tidak sesuai kenyataan.

Sampai saat ini, terutama di bulan september, Isu tentang kebangkitan PKI masih saja laku dan terus mewarnai perpolitikan Indonesia Setiap tahun. Misalnya di sangkutpautkannya dengan Rancangan Undang-undang Haluan ideologi Pancasila (RUU HIP) dengan kebangkitan PKI, hal ini juga berujung pada aksi demonstrasi yang terjadi di depan Gedung DPR RI yang diikuti dengan pembakaran bendera PKI.

Masyarakat kita yang mengalami delusi, kerap kali gagal bernalar dan menyangkutpautkan berbagai fenomena politik dengan kebangkitan PKI.
Masalah ini tentu saja harus di atasi, dan salah satu caranya adalah dengan mengenalkan generasi muda pada sejarah yang lebih jernih dan holistik.

Misalnya dalam memandang peristiwa G30S, kita tidak hanya berhenti pada tragedi terbunuhnya kedelapan perwira tinggi AD, namun kita juga harus melihat ada tragedi lain yaitu pembunuhan massal terhadap ratusan ribu kader dan simpatisan PKI serta penangkapan dan pengasingan tanpa melalui pengadilan yang terjadi hanya beberapa saat setelah penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal.

Melalui pendekatan sejarah yang berimbang terkait isu 1965, generasi muda sebagai generasi penerus bangsa juga sekaligus sebagai penerus sejarah, diharapkan dapat terlepas dari politik memori Orde Baru.

Kaum muda harus lebih banyak membaca berbagai literatur tentang apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965. Ingatan akan sejarah yang sebenarnya harus di bentuk kembali dan diajarkan ke lembaga formal sehingga orang bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu.


Penulis: Bung Ahlan Anzani, Komisaris GmnI Fisip Universitas Mulawarman

  • Bagikan