Mahasiswa, Bergeraklah: Menggugat Pendidikan Mahal di Perguruan Tinggi

  • Bagikan
Wawan - Sekjen Suara Muda Kelas Pekerja Kaltim.

JURNALTODAY.ID, Opini – “Kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil ? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu sebagai mahasiswa sangatlah berbeda : untuk bersekutu dengan kaum tertindas dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini ?”– Victor Sarge (Bolshevik)

Pesan di atas sudah sangat jelas menggambarkan bahwa sebenarnya ke mana mahasiswa ini harus berpihak, dan tentunya kepada orang-orang miskin. Begitulah kira-kira tulisan ini akan mengarah dan menjelaskan kepada kita semua tentang perlunya kita menggugat pendidikan yang menutup ruang bagi orang miskin atau kelas menengah ke bawah dalam mengakses pendidikan itu sendiri.

Baru-baru ini kita mungkin telah mendengar kabar tentang seorang mahasiswi UNY yang bernama Riska. Meninggal setelah bekerja keras untuk membayar biaya kuliahnya yang sebesar Rp.3,140.000 juta. Lalu, setelah peroses keberatan akan biaya kuliah tersebut, Riska hanya mendapatkan penurunan baiaya sebesar Rp. 600.000,.

Padahal, Riska adalah seorang mahasiswa yang orang tuanya hanya sebagai pedagang sayur gerobak sehingga dirinya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan uang kuliahnya, hingga ia jatuh sakit kemudian mengidap hipertensi yang amat buruk.

Selain Riska, persoalan serupa juga terjadi di perguruan tinggi negeri lainnya, seperti yang dialami Nana yang harus menghentikan upayanya menempuh pendidikan tinggi saat memasuki semester kedua tahun 2022 karena harus membayar uang kuliah yang begitu mahal.

Selain dua kasus di atas, tentu masih banyak lagi kasus yang serupa yang tidak terselesaikan oleh instansi pendidikan kita.

Persoalan mahalnya biaya pendidikan seperti di atas tak jarang kita temukan di berbagai kampus di indonesia, sebab memang orientasi pendidikan kita telah terjerumus ke dalam sebuah pendidikan yang komersil dengan berorientasi pada profit.

Komersil atau komersialisasi diartikan sebagai perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu, komersialisasi pendidikan dapat diartikan menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. Komersialisasi pendidikan atau mengkomersialisasikan pendidikan kerap ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.

Menurut Darmaningtyas (2014 : 115) bahwa komersialisasi pendidikan merupakan keadaan pendidikan yang berpegang pada masyarakat industri dan selera pasar (market society). Sedangkan Edisubkhan (2014 : 140), bahwa komersialisasi pendidikan telah mengantarkan pendidikan sebagai instrumen untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat.

Maka, kesimpulan yang tepat dari urain di atas adalah bahwa komersialisasi pendidikan merupakan suatu keadaan atau situasi di dunia pendidikan yang lebih mengutamakan paradigma pendidikan dalam hal ekonomis (keuntungan), sehingga pengukuran keberhasilan pendidikan dalam proses humanisasi tidak tercapai.

Akibatnya, individu yang berasal dari kelas sosial rendah tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh akses pendidikan yang layak dan berkualitas seperti individu yang berasal dari kelas sosial atas.

Gerbang Awal Komersialisasi Pendidikan dan Lahirnya UKT

Tergabungnya Indonesia menjadi anggota WTO (World Trade Organization) merupakan gerbang awal komersialisasi pendidikan di Indonesia. Garis besarnya pendidikan dijadikan barang jasa yang diperdagangkan dan pasar diberikan keleluasaan mengelola pendidikan.

Sejalan dengan kepentingan WTO kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai pendidikan juga disesuaikan. Setelahnya kemudian muncul pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) pada tanggal 17 Desember 2008 menjadi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) di sini awal bentuk komersialisasi pendidikan terjadi.

Tepatnya tanggal 31 Maret 2010 UU BHP dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan pertama, secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan. Kedua, UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik dan, ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan, perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.

Dihapuskannya UU BHP tidak lantas menghentikan praktik-praktik komersialisasi pendidikan tinggi, tahun 2012 muncul Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU PT) sebagai bentuk pengganti dari UU BHP. Secara garis besar hal yang diusung oleh UU PT masih sama dengan UU BHP, yaitu semangat komersialisasi, kapitalisasi, dan privatisasi pendidikan, namun di UU PT lebih dispesifikan ke perguruan tinggi.

Dapat dikatakan UU BHP dan UU PT adalah tubuh yang sama hanya saja berganti baju. Sejak tahun 2012 pemberlakuan UU PT bukan memberikan dampak positif melainkan dampak negatif, salah satunya biaya pendidikan yang tiap tahun selalu naik hingga komersialisasi aset kampus.

Jika dilihat di UU PT terdapat pasal 62 ayat 1 yang berbunyi: Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Kemudian lanjut pasal 64 ayat 3 menjelaskan secara eksplisit tentang otonom perguruan tinggi di bidang non akademik yang salah satunya meliputi keuangan.

Dari sinilah yang menjadi corong perguruan tinggi melakukan praktik komersialisasi pendidikan. pada tahun 2013 juga menjadi tahun kelam bagi pendidikan Indonesia, pasalnya pemberlakuan sekaligus lahirnya Permendikbud No. 55 tahun 2013 tentang Uang Kuliah Tunggal dan Biaya Kuliah Tunggal di Perguruan Tinggi Negeri.

Problem UKT, Tidak Meringankan

UKT mulai diterapkan di seluruh perguruan tinggi di Indonesia oleh pemerintah pada tahun 2013 sesuai dengan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 Tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Pada tanggal 23 Mei. Pada dasarnya inti dari uang kuliah tunggal, yaitu sistem pembayaran kuliah di mana biaya kuliah mahasiswa selama satu masa studi dibagi rata per semester.

UKT merupakan salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta Surat Edaran Dirjen Dikti No. 488 E/T/2012 dan Surat Edaran Dirjen Dikti No. 97 E/KU/2013, yang mengamanatkan bahwa setiap perguruan tinggi negeri di Indonesia diwajibkan untuk menggunakan sistem UKT/BKT.

Namun pada penerapannya UKT gagal menjadi sistem pembayaran yang dapat membantu masyarakat kelas menengah ke bawah dalam menikmati pendidikan di Indonesia seperti pada latar belakang sebelumnya bahwa korban-korban terus bertambah akibat pembiayaan yang begitu besar.

Di Universitas Mulawarman, mulai menerapkan UKT dengan landasan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 Tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan besaran BKT dari Rp. 4.000.000 s/d Rp. 13.000.000 dan UKT dengan besaran dari Rp. 500.000 s/d Rp. 15.000.000 dengan pengelompokan, kelompok 1 hingga kelompok 5, yang berlaku untuk angkatan 2013.

Dan, setiap tahunnya peraturan tentang UKT selalu hadir dengan angka pembiayaan yang sama, bahkan hingga saat ini semakin tinggi. Misalnya, untuk UKT seperti yang tertuang dalam website Unmul (https://ukt.unmul.ac.id/ di aksese 05/02/2023) untuk jalur SBMPTN dan SNMPTN berkisar Rp. 500.000 s/d Rp. 25.000.000. Sedangkan dalam Peraturan Rektor no 3 Tahun 2022 sebesar Rp. 3.500.000 s/d Rp 25.000.000 untuk jalur Mandiri dalam kategori kelompok 5 s/d 8.

Maka sangat wajar jika mahasiswa semakin tercekik untuk memenuhi kebutuhan kampusnya karena kita dapat bandingkan pembiayaannya yang semakin tinggi setiap tahun.

Selain soal angka UKT yang semakin tinggi, proses penetapannya juga tidak transparan dan cendrung tertutup tak melibatkan peserta didik (mahasiswa). Pertama, letak tidak transparannya ialah mahasiswa tidak pernah mengetahui ke mana uang kuliah itu, lalu diperuntukkan untuk apa, dan berapa jumlah anggaran UKT mahasiswa yang digunakan setiap tahunnya.

Tidak pernah ada sosialisasi atau semacam papan pengumuman besar yang dapat mengambarkan transparansi yang mudah dipahami oleh mahasiswa atau masyarakat secara umum. Kedua, sistem evaluasi dan monitoring yang tertutup dan tidak jelas.

Padahal aturan ini sudah ada seperti pada tahun sebelumnya yang tertuang dalam Kemenristekdikti No. 39 Tahun 2016 pasal 11 ayat 1, 2, dan 3 bahwa PTN menyampaikan laporan realisasi penerimaan UKT untuk masing-masing kelompok setiap semester kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Laporan dilakukan melalui Sistem Monitoring dan Evaluasi (SIMonev). Sistem monev seharusnya dilakukan setiap semester oleh Program Studi, Rapat Senat Fakultas, hingga Universitas agar setiap data penurunan UKT mahasiswa menjadi landasan untuk kampus dapat mengevalusi dan menurunkan biaya tersebut.

Sementara itu kita tahu bahwa forum-forum seperti Senat, dan lain-lain bukanlah forum yang demokratis dan terbuka bagi setiap civitas akademika di dalam kampus untuk menyampaikan pendapatnya.

Maka sangat jelas sudah bahwa UU PT Nomor 12 Tahun 2012 beserta aturan UKT harus dituntut untuk segera di hapuskan dan mengganti dengan sistem yang lebih berkemanusiaan dan terbuka seperti dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31 yang mewajibkan pemerintah menjamin pendidikan warga negaranya dan membiayainya.

Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 juga disebutkan bahwa pemerintah harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional. 

Apa yang harus kita lakukan? 

Upaya untuk mewujudkan pendidikan yang berorientasi pada kepentingan umum tentu tidak mudah. Kita mahasiswa seharusnya dapat keluar dari tempurung yang mengekang kita selama ini. Organisasi-organisasi mahasiswa seharusnya dapat menjadi motor penggerak dan mahasiswa menjadi pengendaranya yang mengarahkan organisasi menjadi organisasi perjuangan untuk melawan pendidikan yang komersil ini.

Banyak cara bisa kita lakukan yang belum memiliki organisasi, silahkan berorganisasi karena hanya dengan berkelompoklah kita dapat menyatukan kekuatan yang tercerai berai ini. Ada banyak organisasi di kampus, termasuk salah satunya adalah kami dari Kelompok Belajar Anak Muda-Kalimantan Timur (KBAM-Kaltim) yang sedang belajar dan mengajak mahasiswa untuk berjuang bersama.

Cara lainnya juga bisa dengan melakukan diskusi-diskusi ilmiah dengan mengundang dosen yang juga memiliki keresahan yang sama, atau dengan demonstrasi menduduki kampus sekaligus memberikan pelajaran bagi kampus yang tidak pernah mendengar pendapat maahsiswa dan rakyat miskin. Karena hanya dengan itulah kita bisa melakukan perubahan.

Sekian dari kami, kurang lebihnya mohon dimaafkan. Tidak ada lagi alasan untuk mahasiswa hanya berdiam diri, saatnya kita bergerak, untuk pendidikan yang dapat di akses semua lapisan.(**)

  • Bagikan