Polemik RKUHP Dalam Diskursus Civil Society

  • Bagikan
Mujahid, Wakabid Politik DPC GMNI Kota Samarinda.

JURNALTODAY.ID,Opini – Polemik terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menjadi perdebatan beberapa waktu ini. Hal itu berangkat pada beberapa pasal dalam RKUHP yang dinilai mencederai semangat dalam membangun demokrasi yang inklusif dan patisipatif.

Berbagai motif sanksi pidana yang terkandung pada RKUHP merupakan peringatan awal kemunduran proses demokrasi Indonesia pasca reformasi. Jika draft ini benar-benar disahkan pemerintah dan DPR, Targetnya jelas. Para aktivis dan warga yang seringkali protes keras.

Hal ini mengacu dalam beberapa pasal, antarai lain Pasal 218-220 (penghinaan terhadap harkat dan martabat Presiden), Pasal 240-241 (pidana terhadap penghinaan terhadap kekuasaan sah), Pasal 357 & 359 (pidana terhadap pelanggaran ketertiban umum).

Pasal-pasal tersebut dianggap masih kontroversial, dan dianggap menjadi ancaman terhadap aktivitas warga negara dalam berdemokrasi.

Menjadi catatan wajib, bahwa RKUHP tak boleh mengabaikan peran masyarakat sipil (civil society) dalam membangun demokrasi karena sejatinya roda demokrasi itu bergerak dalam dua poros yang kita sebut sebagai, demokrasi sipil dan demokrasi kekuasaan.

Posisi civil society atau masyarakat sipil dalam demokrasi dapat kita sebut sebagai entitas yang posisinya berada di luar negara. Masyarakat sipil tepat berada di antara ruang privat dan negara.

Alexis de Tocqueville mengungkapkan bahwa civil society adalah non-state actor atau lembaga-lembaga otonom (dari negara) yang kedudukannya bersifat menimbangi kekuasaan Negara.

Mereka memiliki berbagai kepentingan dalam mengawal kebijakan yang ditawarkan oleh kekuasaan tetapi proses pengawalan tersebut dianggap sebagai gerakan yang berada diluar kontrol negara.

Sementara intelektual sekaligus politisi asal Italia Antonio Gramsci, membagi tiga tipologi masyarakat, yaitu masyarakat sipil (civil society), masyarakat politik (political society) dan masyarakat ekonomi (civil economic).

Menurutnya, unsur-unsur tersebut adalah suatu bentuk gerakan sosial yang dianggap mampu untuk mengimbangi dominasi negara sehingga tidak terjadi kekuasaan yang absolut dan otoriter.

Hal ini selaras dengan pendapat pemikir politik Locke yang mengatakan bahwa kekuasaan terbentuk dari konsensus sosial warga negara sehingga kekuasaan itu terbatas dan tidak bebas.

Jadi, hak mengatur yang dimiliki penguasa bisa ditolerir selama tidak mengganggu hak-hak masyarakat sipil. Misalnya, membatasi kebebasan berbicara, berpendapat, dan kritik kepada rezim.

Namun nahasnya , subtansi dalam RKUHP sangat banyak pasal yang dinilai telah memangkas peran dan partisipasi masyarakat sipil (civil society) dalam berbagai bidang kehidupan berdemokrasi.

Padahal, jaminan hak dan kebebasan masyarakat sipil dalam memberikan partsipasinya dalam wujud berpendapat ataupun mengkritik adalah salah unsur penting bagaimana perwujudan pembangunan demokrasi sosial yang baik pada suatu bangsa dan negara.

Manuver Konstalasi politik DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), tentunya akan sangat berdampak signifikan terhadap iklim demokrasi sosial di negara ini.

Masyarakat akan cenderung menjadi warga negara yang “apolitis”. Keadaan inilah yang di sebut Neumann sebagai spiral keheningan (spiral of silence). Masyarakat akan cenderung bungkam untuk berbeda pandangan dengan negara karena ditakutkan akan ada upaya kriminalisasi oleh negara.

Selain itu pengesahan RKUHP juga akan memunculkan menguatnya gejala “Police state”. Resentralisasi negara yang akan mengakibatkan merosotnya kesimbangan (check and balance) antara peran masyarakat sipil (civil society), dan negara.

Justru, gejala ini akan memperkuat porsir bahwa demokrasi hanya dihabiskan pada sektor kekuasaan saja, sementara distribusi demokrasi pada ruang sipil juga perlu karena proporsi demokrasi tidak boleh hanya habis pada ruang-ruang keuasaan saja, tetapi juga harus hidup dalam ruang -ruang publik yang kita sebut sebagai civil society.

Kondisi inilah yang akan menjadikan demokrasi menjadi otoriter, karena pada dasarnya manuver politik kekusaan untuk segera mengesahkan RKUHP. Tentunya ini adalah agenda penumbangan terhadap demokrasi dengan cara yang “legal”, dalam artian dilegitimasi oleh kekusaan melalui proses legislasi.

Tentunya ini selaras dengan ungkapan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya “How Democracies Die”. Bahwa kemunduran masyarakat sipil (Civil Society) sejalan dengan kemerosotan demokrasi.

Dimana, demokrasi bisa mati jika ada berbagai bentuk motif politik terbuka atau tersembunyi menumpuk kekuasaan melalui ‘permainan konstitusional’ yang sifatnya meredam partispasi masyarakat sipil (civil society).

Padahal, RKUHP sebagai produk konstitusional yang sedari dahulu telah dicita-citakan diharapakan mampu menjadi bentuk revitalisasi masyarakat sipil (civil society) dalam menjalankan peran-perannya sebagai warga negara.

Dalam upaya menyongsong masa depan demokrasi bangsa dan negara ini untuk lebih baik, RKUHP dengan beberapa pasal yang mengancam terhadap ruang demokrasi sipil, tentunya ironi.

Toh, selama ini citra yang digambarkan dalam ideologi Pancasila adalah nilai yang bersifat Egaliter, namun RKHUP yang akan disahkan hanya mencerminkan bentuk penguatan sikap feodal oleh kekuasaan terhadap rakayat.

Kiranya jauh berbeda dengan keadaan Indonesia saat ini yang menganut social welfare state dengan demokrasi yang luas dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Kebebasan individu untuk dapat mengkritik dan berpendapat merupakan sebuah prinsip dasar dan substansi utama bagi negara yang menganut paham demokratis.(**/opini)


Penulis : Mujahid, mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan strata satu di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan (FKIP) Universitas Mulawarman. Selain berkuliah juga tercatat sebagai kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) yang saat ini mengisi struktur Wakabid Politik DPC GMNI Kota Samarinda.

  • Bagikan