JURNALTODAY.ID, Jakarta – Kritik keras diberikan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) terkait Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Bagi organisasi berideologi marhaenisme ini, RKUHP memiliki potensi besar sebagai alat yang akan menghilangkan demokrasi di Indonesia.
Pasal tentang Tindak Pidana Ideologi Negara merupakan salah satu yang paling disorot oleh organisasi mahasiswa berhaluan nasionalis ini.
Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi pun mempertanyakan logika hukum dalam penyusunan pasal tersebut.
“Berdasarkan pendapat Jan Remmelink, Hukum Pidana memiliki karakter khas sebagai hukum yang berisikan perintah. Perintah dan larangan tegas memberikan nuansa khas pada hukum pidana,” kata Imanuel dilansir dari Republika.co.id.
Menurutnya, pasal 188 ayat (1) dalam RKUHP tentang Tindak Pidana Ideologi Negara menimbulkan absurditas dalam kerangka berpikir secara akademik. Dia mengungkapkan, dalam pasal tersebut tidak pernah ada suatu perintah dan larangan yang tegas.
“Lalu apa yang dimaksud dengan ‘lain-lain’? Lalu apa yang dimaksud dengan benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila? Hal-hal ini, menimbulkan kekacauan sistematika hukum positif Indonesia karena akan sulit mendakwa dan membuktikan sebuah tuntutan yang sangat abstrak dan bersifat tafsir,” lanjut Imanuel.
Konsekuensi logis dari adanya pasal tersebut, yakni pemahaman teks Pancasila secara sistematis harus bersifat tunggal, pasti, dan mutlak. Artinya, sambung dia, setiap rezim yang berkuasa pasti akan memberi tafsir tunggal terhadap Pancasila.
Secara historis, pengaturan kejahatan ini, kata Imanuel, terkait erat dengan lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Imanuel menyimpulkan bahwa RKUHP yang didorong pemerintah Jokowi masih kental nuansa otoritarianisme ala Orde Baru.
Hal itu berkontradiktif dengan semangat awal revisi KUHP peninggalan kolonial, yang katanya untuk dekolonisasi.
Kata Imanuel, pasal demi pasal yang terkandung di dalam RKUHP justru semakin mendegradasi praktik demokrasi di Indonesia karena sarat nuansa otoritarianisme.
“Pasal 188 tentang Tindak Pidana Ideologi Pancasila, Pasal 218 tentang Kritik Terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 tentang Kritik Terhadap Pemerintah, pasal 273 tentang demonstrasi, dan masih banyak lagi, semakin menguatkan asumsi bahwa RKUHP ini menjadi instrumen penguatan negara otoritarian yang represif terhadap warga negaranya sendiri, khususnya yang dianggap bertentangan dengan sikap penguasa,” urai Imanuel.
Di akhir, Imanuel menegaskan penolakannya terkait RKUHP yang diajukan oleh pemerintah karena tidak memiliki manfaat bagi rakyat.
“Maka, GMNI menilai RKUHP ini hanya alat oligarki untuk ‘membunuh’ demokrasi rakyat di negeri ini,” pungkasnya.(**/as)