Penyerangan versus Pembantaian, Siapa Yang Menghargai Hak Hidup

  • Bagikan

Penulis : RM. Putra Simanjuntak I Mahasiswa Fak Hukum

Mendengar dan melihat informasi faktual dari berbagai media, tentang disinformasi yang dilakukan oleh Kepolisian yang merasa diserang sementara dari Front Pembela Islam yang merasa dibantai.Yang akhirnya dillakukan penegakan hukum oleh Kepolisian faktanya menimbulkan korban enam nyawa yang hilang.

Di kutip dari laman berbagai media, bahwa Polisi menembak mati enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang sedang melakukan pengawalan terhadap imam besar Habib Rizieq Shihab.Insiden itu terjadi jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada senin 7 Desember dini hari pukul 00.30 WIB.

Aksi tindakan kepolisian terhadap enam orang anggota FPI itu adalah bentuk konkrit tindakan Extra-Judicial Killing atau pembunuhan diluar putusan pengadilan. Tindakan seperti ini dilarang keras Oleh ketentuan dalam Hukum dan HAM Internasional maupun serta peraturan perundang-undangan nasional.

Larangan tersebut dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, serta International Convenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang salah satu esensinya adalah “Extra Judicial Killing merupakan suatu pelanggaran hak hidup seseorang.

Hak hidup setiap orang dijamin oleh konstitusi dan merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Oleh karenanya, tindakan demikian tidak dapat dibenarkan oleh negara hukum (Rechtsstaat) manapun.

Tindakan kejam ini juga melanggar hak-hak lain yang dijamin pasti oleh konstitusi dalam pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 ) jo Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo ketentuan Hukum dan HAM Internasional, seperti hak atas pengadilan yang adil dan berimbang (Fair Trial).

Kendatipun menurut Versi Polisi bahwa ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh enam orang tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan hukum pidana yang berlaku.

Akibat terjadinya Extra-Judicial killing, mereka tidak mungkin dapat diadili dengan adil dan berimbang untuk membuktikan tuduhan yang disampaikan kepadanya karena saat ini sudah tidak lagi menjadi subjek hukum (meninggal dunia).

Adanya perang opini atau perbedaan keterangan yang signifikan antara kepolisian dan FPI yang disampaikan ke publik menjadi informasi yang Ambigu. Jumpa pers yang dilakukan kepolisian dengan menampilkan bukti-bukti yang masih dipertanyakan validitasnya seperti pistol dan senjata tajam yang tidak legitimit.

Saat ini publik menginginkan informasi yang valid dan penegakan hukum (law enforcement) yang baik dan benar sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip yang diadopsi Indonesia.

Besar harapan penulis kepada Komnas HAM untuk segera membentuk Tim Independen atau Tim Pencari Fakta, agar mengusut tuntas perkara ini dengan baik dan benar, supaya dapat meredam informasi yang sesat dan memperkaya pembiaran penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Polisi yang melakukan tindakan Extra Judicial Killing, telah melanggar asas “Salus Populi Suprema Lex Esto” yang mempunyai makna keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Kalau terbukti Polisi melakukan penembakan terhadap anggota FPI, sepertinya layak Presiden mencopot Kapolri Idham Aziz dan juga kepala Badan Intelijen Negara dari jabatannya dan membentuk Tim pencari Fakta Independen agar mengungkap fakta Tindakan pembunuhan tersebut.

  • Bagikan