Apresiasi Sikap Pemerintah, Komnas HAM Dorong Langkah Konkret

  • Bagikan
Ilustrasi/Aksi Kamisan.

JURNALTODAY.ID, Nasional – Hari ini Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara secara gamblang menyampaikan permohonan maafnya kepada seluruh korban dan keluarga korban 12 peristiwa Pelanggaran HAM Berat hasil laporan Tim PPHAM.

Permohonan maaf Presiden RI kepada korban pelanggaran HAM masa lalu ini merupakan kali kedua terjadi. Sebelumnya, permintaan maaf terhadap korban peristiwa 1965 pernah diucapkan oleh Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gusdur.

Dalam konferensi persnya usai menerima laporan Tim PPHAM, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan pemulihan hak, sekaligus tetap melanjutkan langkah penyelesaian secara hukum.

“Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” terangnya.

Penyataan Jokowi ini tentunya menjadi kabar baik bagi pegiat hingga para penyintas, salah satunya Uchikowati Fauzia, Ketua Paduan Suara Dialita. Paduan suara yang berisi mantan anggota Gerakan Wanita Indonesia.

Tangis haru bersama teman-temannya tak bisa ditahan saat mendengar pernyataan Jokowi di Istana Negara siang tadi.

“Menangis, ingat para korban yang sudah wafat,” kata Uchi dilansir dari detik.com.

Uchi mengaku bersyukur negara pada akhirnya menyampaikan penyesalan atas peristiwa 65/66 dan diakui sebagai pelanggaran HAM Berat.

“Sebagaimana yang diamanatkan dalam Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang pemulihan untuk korban dan keluarga, kami merasa penting tetap mengawal sampai tuntas,” ucapnya.

Apresiasi pun diberikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas permintaan maaf dari pemerintah tersebut.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, menyampaikan bahwa pihaknya menyambut baik sikap dan pengakuan Presiden terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM yang telah mereka selidiki.

Komnas HAM menilai adanya komitmen pemerintah pada pemulihan hak korban, dalam rangka untuk memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, dan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu,” terangnya.

Selanjutnya, pihaknya meminta agar Menkopolhukam bisa memfasilitasi Komnas HAM dan Kejaksaan Agung perihal tugas dan kewenangan menjalankan penyelidikan dan penyidikan.

“Hal ini guna menyelesaikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme yudisial,” jelasnya.

Komnas HAM juga meminta langkah konkret dari Menkopolhukam terkait laporan tim PPHAM ini demi pemenuhan hak-hak korban.

“Sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya,” jelasnya.

12 Kasus Pelanggaran HAM Berat sesuai laporan Tim PPHAM, yakni Peristiwa Pembunuhan Massal 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, lalu Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989.

Selanjutnya, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet, Banyuwangi 1998-1999.

Adapula Peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), Aceh 1999.Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.(*)

  • Bagikan