SAMARINDA – Peristiwa yang terjadi pada 5 November 2020 di depan kantor DPRD Kaltim saat demo penolakan omnibus law UU Cipta Kerja, berbuntut dua orang mahasiswa menjadi tersangka.
Wisnu ditetapkan sebagai tersangka usai melakukan aksi demonstrasi menolak omnibuslaw di depan gedung DPRD Kaltim, beberapa waktu lalu.
Hari ini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Samarinda manjatuhkan vonis kepada Wisnu Juliansyah (22 tahun) 5 bulan 15 hari, Rabu (14/4/2021).
Wisnu dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 351 Ayat 1 KUHP perihal penganiayaan. Vonis yang diterima Wisnu, lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yakni tujuh bulan.
“Dalam putusannya majelis menyatakan terdakwa (Wisnu) bersalah divonis 5 bulan 15 hari penjara. Karena sudah ditahan 5 bulan 10 hari. Jadi tersisa 5 hari lagi baru bebas,” ungkap Kuasa Hukum Wisnu, Indra dari LBH Persatuan Samarinda, saat wartawan, Rabu (14/4/2021).
Selanjutnya Indra sebagai kuasa hukum telah menerima vonis hakim. Sehingga mereka tak mengajukan banding. Pasalnya indra menilai Wisnu tak bersalah.
Menurutnya, tak semestinya kesalahan dilimpahkan ke Wisnu.
“Situasi chaos itu kan reaksi massa aksi atau peserta unjuk rasa, biasanya terjadi secara spontan melakukan pelemparan batu dan pelakunya beberapa orang, tapi kenapa cuma Wisnu yang harus dijadikan tersangka,” ucap Indra,
Hal lain yang jadi sorotan Indra, ialah keterangan dari saksi korban, yang juga anggota polisi. Menurutnya, keterangan saksi satu dengan yang lain justru bertentangan.
“Misalnya saksi korban bilang yang melempar bukan hanya satu orang, tapi ada beberapa orang ke arah polisi. Tapi yang hanya dilihat oleh saksi adalah terdakwa (Wisnu). Kemudian dua saksi polisi lain, bilang yang melempar hanya terdakwa (Wisnu). Ini pernyataan para saksi korban yang kontradiktif,” jelas Indra.
Indra mengatakan, saat persidangan, pihaknya sudah meminta kepada majelis hakim agar Wisnu dibebaskan dari dakwaan dan tuntutan jaksa.
Meski demikian, Wisnu tetap dinyatakan bersalah. Di mana Wisnu dinyatakan melakukan pelemparan yang mengenai polisi hingga luka di kelopak mata sebelah kanan.
Ada dua alat bukti yang dihadirkan jaksa. Yakni video pelemparan Wisnu serta visum dari RSUD Abdul Wahab Syahranie.
Hal yang meringankan Wisnu, ialah statusnya sebagai mahasiswa semester akhir yang akan menyusun tugas akhir.
Selain Wisnu, Polresta Samarinda juga menetapkan mahasiswa lain bernama Firman sebagai tersangka. Kasus ini ialah rentetan dari aksi penolakan omnibuslaw UU Cipta Kerja, November 2020 lalu.
Firman disangkamembawa senjata tajam saat aksi. Ia dituntut jaksa enam bulan penjara karena diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 UU Kedaruratan Nomor 12 tahun 1951.
Hari ini Firman sudah mengajukan pledoi. Ia dijadwalkan sidang putusan dalam waktu dekat.
Diwaktu yang sama Perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur Menggugat Darmawansyah, menyayangkan hasil vonis yang di berikan oleh Majelis Hakim.
Pasalnya tindakan aksi protes yang berujung demonstrasi ialah suatu dinamika yang dinilai objektif.
“Karena konteksnya ialah berjuang karena melihat kebijakan yang akan menyengsarakan rakyat ke depanya lewat penetapan UU Omnibuslaw,” jelas Wawan.
Lebih lanjut, Wawan berpendapat, kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya.
“Secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” lanjut Wawan.
Menurutnya peristiwa kriminalisasi peserta aksi ini, tidak hanya terjadi di Samarinda, namun serentak seluruh Indonesia.
“Dengan terbitnya surat telegram oleh Mabes Polri jelang pengesahan UU Omnibuslaw mengeluarkan STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 yang berisikan perintah Kapolri untuk melakukan pengintaian, pencegahan bahkan penindakan untuk rakyat yang kontra Omnibuslaw, itu menjadi bukti kuat bahwa negara hari ini berusaha membungkam Demokrasi yang ada di Indonesia,” lanjutnya.
Lebih lanjut pemerintah mengesahkan UU tersebut di masa pandemi Covid-19 , hal tersebut berbanding lurus dengan intruksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Surat edaran No. 1035/E/KM/2020 perihal himbauan Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja.
“Berarti ada bentuk kesinambungan dengan mengeluarkan edaran pembelajaran daring namun negara memanfaatkan momentum itu untuk mengesahkan UU Cipta Kerja yang banyak menuai kontroversi,” sambungnya.
Alih-alih mahasiswa disarankan untuk diam dan melihat rezim penguasa menghancurkan seluruh sendi-sendi ekonomi kerakyatan yang telah ada.
“Maka dari itu, seluruh rakyat harus menggalang Solidaritas yang kuat agar harus bersiap siap melawan rezim yang anti pada Demokrasi ini. Rakyat harus membangun kekuatan politik persatuan yang progresif dan independen untuk menguatkan Solidaritas dan kekuatannya,” tutupnya.(Qy)