Hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat memang menjadi bahan perbincangan dan analisis yang menarik bagi kita semua. Setelah cenderung keras di bawah kepemimpinan Donald Trump yang getol dengan kebijakan perang dagang yang di bawanya, para pengamat dan kita semua memang berharap Amerika di bawah kepemimpinan Joe Biden akan cenderung bersikap lebih lunak dan mulai membangun hubungan yang baik dengan Tiongkok.
Harapan ini semakin terlihat jelas di saat Joe Biden menunjuk Kurt Campbell, seorang arsitek di Asia dari era Barack Obama untuk kembali menjabat sebagai National Security Council Coordinator for the Indo-Pacific. Dengan kembalinya Campbell ke posisi tersebut diharapkan Biden dapat mengulangi kebijakan-kebijakan di era kemimpinan Barack Obama yang cenderung lebih soft kepada Tiongkok.
Nyatanya, sikap politik Biden terhadap Tiongkok tak berbeda jauh dari sikap politik yang diambil Trump. Biden dalam salah satu kesempatan berbicara di hadapan Senat menyebutkan bahwa Amerika tidak memperbaiki diri dalam bidang ekonomi dan infrastruktur, perlahan tapi pasti Amerika akan menjadi inferior di bawah Tiongkok.
Salah satu perkataan Biden, yakni ‘If we don’t get moving, they are going to eat your lunch’ atau diartikan jika tidak bergerak maju maka mereka akan mengambil keuntungan dari kita.
Bahasa politik yang ditampilkan Biden ini jelas tidak menunjukkan garis politik yang soft terhadap Tiongkok. Tentu pertanyaannya apakah ini sikap politik yang tepat bagi AS dalam segala upaya negara tersebut memenuhi kepentingan nasionalnya? kemudian apa dampaknya terhadap dunia internasional?.
Sikap politik Biden yang cenderung keras ini memang bukan hal yang baru ia tampilkan, pada Februari 2021 lalu kita mungkin masih ingat bagaimana pidato Biden dalam pertemuan dengan negara-negara Eropa. Biden menampilkan wajah yang mirip-mirip dengan garis politik yang diambil Donald Trump.
Kala itu Biden melakukan pembelahan ideologis terhadap Tiongkok dan Rusia dengan negara-negara Eropa serta Amerika. Biden menyebutkan bahwa negara-negara Eropa dan juga Amerika merupakan representasi dari nilai demokrasi, sementara Tiongkok dan Rusia dicapnya sebagai representasi dari kekuatan otoritarianisme.
Sikap Biden ini, jika dirasionalisasikan dari posisi AS sekarang, sebetulnya persoalan ini memang sesuai dengan psikologi marketing yang umumnya juga diadopsi oleh negara dalam hal ‘menciptakan musuh’ atau dikenal dengan istilah Creating Enemies.
Tujuan Creating the Enemy ini adalah untuk menciptakan perasaan Genting alias urgent yang akhirnya dapat mendorong negara sampai pada titik menemukan kebijakan terbaiknya.
Namun sikap politik Biden ini mendatangkan kritik dari beberapa pengamat. Mantan diplomat asal Singapura Kishore Mahbubani menyebutkan bahwa mengambil sikap politik yang cenderung keras atas Tiongkok seperti Trump akan menjadi bencana bagi AS dan bagi banyak Negara.
Bagi AS, Trump telah menghancurkan posisi politik AS di tataran global, artinya melanjutkan strategi yang sama akan memberikan dampak buruk bagi AS dan apalagi saat ini politik di Tiongkok sedang kuat-kuat nya.
Mengajak negara-negara lain untuk memusuhi Tiongkok juga akan membuat negara-negara tersebut berada dalam posisi yang dilematis, mengingat banyak di antara negara-negara tersebut memiliki kerjasama yang cenderung menguntungkan dengan Tiongkok.
Selain itu, mencari celah untuk mempengaruhi politik domestik Tiongkok juga sepertinya akan sangat sulit. Pasalnya berdasarkan laporan yang dibuat oleh Harvard Kennedy School disebutkan bahwa ada peningkatan dukungan rakyat Tiongkok terhadap pemerintahannya sendiri, dari 86% pada tahun 2003 menjadi 93% pada 2016 lalu. Artinya, sulit mencari celah untuk mencoba melemahkan posisi Tiongkok secara internal.
Demikian pula secara internasional, dalam konteks internasional Tiongkok juga mempunyai banyak kerjasama dengan berbagai negara dari Asia, Afrika hingga Eropa. Kemudian upaya membawa isu demokrasi dan HAM sebagai pokok utama permusuhan terhadap Tiongkok, sepertinya akan mengalami kesulitan. Pasalnya Tiongkok menyatakan dengan tegas bahwa HAM dan demokrasi tidak mereka anggap sebagai nilai-nilai yang universal.
Misalnya isu komunitas Muslim Uighur, sampai saat ini tidak banyak menjadi sorotan keras oleh negara-negara Islam di Asia termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan kemampuan Tiongkok mengemas isu ini dan mempersepsikannya kepada negara-negara lain tersebut.
Dengan demikian, strategi permusuhan yang dilakukan oleh AS bisa saja akan jadi bumerang bagi mereka. Seharusnya strategi yang dilakukan oleh Amerika adalah ‘not fighting the dragon but riding the dragon’ tidak melawan Sang Naga tetapi mengendarainya.
Seharusnya Amerika melihat peluang untuk mengambil keuntungan dari hubungan dengan Tiongkok, sembari pada saat yang sama memperkuat posisi internalnya sendiri sehingga bisa kembali mengambil posisi di panggung politik global.
Politik yang kuat, teknologi yang maju, sumber daya alam yang kaya, sumber daya manusia yang mendukung dan ekonomi yang besar adalah faktor faktor penentu suatu negara dapat dikatakan sebagai negara Super Power.
Berkaca dari riset yang dilakukan oleh Lowy Institute, Power Index Tiongkok sudah sampai pada level yang sangat kuat. Artinya mungkin sudah saatnya AS menerima kenyataan bahwa Tiongkok telah menjadi negara Super Power yang menghegemoni dunia.
Lalu jika demikian akan di mana Indonesia, riding the dragon atau memilih untuk flying with the agle. Harus diakui dengan kondisi saat ini Tiongkok bisa dibilang menjadi salah satu negara yang sudah lolos dari pandemi covid-19.
Tiongkok juga sudah bisa kembali melakukan akselerasi ekonomi artinya dekat dengan Tiongkok akan menguntungkan. Namun, kondisi yang lebih ideal adalah tentu saja mencoba menyeimbangkan hubungan dengan dua negara tersebut, tujuannya tentu saja agar kita dapat meraih keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional kita.
Bagaimanapun juga membangun hubungan yang buruk dengan AS bisa berdampak buruk bagi Indonesia, hal yang sudah refleksi panjang dalam sejarah negara ini. Harus kita akui, hubungan panas kedua negara ini memberikan dampak yang buruk bagi banyak negara di dunia. Seharusnya Indonesia dapat ikut andil dalam memainkan perannya guna mengakhiri perseteruan kedua negara ini. (*)