Sang Pemberani Itu Telah Pergi

  • Bagikan
(Foto : DPPSBSI/MohtarPakpahan)

Penulis : Peter Hari, EksSekjend PRD


Dalam sebuah penjara dengan kamar sel berbeda sore itu di Bulan Agustus 1996, kami bernyanyi bersama. Aku, Budiman Soetjatmiko, Garda Sembiring dan Muchtar Pakpahan bernyanyi bersama penuh emosi. Sebuah nyanyian pelepas marah kami kepada Rezim yang telah memenjarakan kami dengan tuduhan dalang kerusuhan 27 Juli.

Aku dan Budiman sebenarnya tidak mendengar apalagi melihat wajah Pak Mochtar, hanya Garda yang mendengar suaranya lewat lubang ventilasi.

Sehari hampir tiga kali lebih, Pak Mochtar memetik gitar dan bernyanyi, lalu Garda yang mendengar mengikutinya. Aku dan Budiman terpancing juga turut bersenandung. Lalu kami bertiga merapat ke pintu sel dan mengeluarkan seluruh kemampuan vokal kami.

Mukhtar Pakpahan bersama Sri Bintang Pamungkas

Saat seperti itulah saat yang menyenangkan karena segala rasa penat dan rasa sesak di hati akan terbuang semua.

Akhir Desember 1996, di sore hari untuk pertamakalinya bisa bertatap muka dengannya. Malam itu, aku, Pak Mochtar, Putut, Ken Ndaru, dan Victor digelandang dengan mobil tahanan menuju LP Cipinang.

Pak Mochtar dan Victor menempati kamar nomor empat, sedangkan aku dan lainnya menempati kamar nomor tiga. Malam itu kami tidak makan karena pemindahan mendadak dan tanpa pemberitahuan ke keluarga.

Pak Mochtar lah yang menyelamatkan kami dari kelaparan. Di sore harinya, rantangan makanan kiriman dari istrinya tiba. Lalu kami makan bersama-sama, setelah menunggu begitu lama jatah makanan dari penjara yang tak kunjung tiba. Rupanya, semua napi di blok kami memang tidak mengambil jatah makanan dari dapur karena tidak layak dimakan.

Jadilah Pak Mochtar yang dituakan diantara kami. Bahkan dia menjadi orang tua angkat bagi Victor dan aku yang tak pernah dikunjungi keluarga. Segala persoalan keseharian sering kami rundingkan dengan Pak Mochtar. Kami sudah seperti keluarga baru.

Bila hari Minggu kami adakan kebaktian di kamar nomor tiga. Pak Mochtar yang membawakan fitman, dan aku bertugas memimpin pujian. Mochtar adalah alumni GMKI yang sangat taat beribadah.

Bila hari Minggu dan Rabu, Pak Mochtar dibezuk istrinya, terkadang membawa serta anak perempuannya bernama Ruth. Kami ikut nimbrung juga, dan rasanya sudah seperti keluarga..

Pak Mochtar adalah figur yang kukagumi saat itu. Satu-satunya tokoh serikat buruh yang berani menentang pemerintah (saat itu kami masih merintis pembangunan serikat buruh). Keberanian dia menjadi inspirasi banyak aktivis.

Dia dipenjara dengan tuduhan mendalangi kerusuhan buruh. Dipenjara di Medan, setelah bebas tidak jera melawan rezim soeharto.

Saat Megawati dijungkal dari kekuasaannya di PDI oleh Soeryadi atas dukungan pemerintah, ia menjadi pimpinan sebuah front perlawanan bernama Majelis Amanat Rakyat Indonesia (MARI). MARI mendukung kepemimpinan Megawati dan aktif aksi bersama PDI dan mewarnai mimbar demokrasi di jalan Dipinegoro.

Itulah yang membawanya tanggal 29 Juli 1996 ditangkap dirumahnya.

Setelah sidang berakhir, Pak Mochtar dirawat di RS Cikini karena menderita vertigo. Kami baru bertemu kembali di LP Cipinang setelah Soeharto jatuh.

Dia bersama Sri Bintang Pamungkas yang paling dulu dibebaskan diantara kami.

Lama tak jumpa dengannya, dan pagi ini membuka hp membaca kepergiannya kemarin malam.

Selamat jalan sang pemberani. Terima kasih atas inspirasi keberanianmu melawan soeharto.**

  • Bagikan