“Supaya pengawasan itu benar-benar berjalan nggak ada konflik kepentingan, perlu ada aturan yang mengatur agar kepala daerah dan DPRD tidak ada hubungan keluarga”
JAKARTA – Wakil Ketua KPK Alexander’s Marwata menyoroti sejumlah kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat struktural pemerintahannya atau DPRD setempat. Menurut Alex, perlu ada aturan yang melarang kepala daerah memiliki hubungan keluarga dengan pejabat struktural di pemerintahannya dan DPRD setempat.
Alex menyampaikan hal tersebut dalam acara webinar Pembekalan Pilkada Berintegritas 2020 yang diikuti oleh calon kepala daerah (cakada) dari Provinsi Jambi, Jawa Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara. Dia pun menyinggung eks Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar, yang kena OTT KPK beserta istrinya Encek UR Firgansih, yang diketahui menjabat Ketua DPRD Kutim.
“Ini OTT awal tahun, Bapak-Ibu sekalian, bupati, ketua DPRD, Bapak-Ibu pasti sudah tahu. Bupati dan ketua DPRD-nya itu suami-istri, Bapak-Ibu sekalian. Jadi apa yang Bapak-Ibu bayangkan ketika hal itu terjadi, APBD mungkin selesai di tempat tidur pembahasannya,” kata Alex dalam tayangan YouTube Kanal KPK, Selasa (24/11/2020).
“Saya sungguh tidak berharap sebetulnya, meskipun peraturan itu membolehkan itu terjadi. Nggak ada mekanisme kontrol kalau seperti ini, sama sekali nggak berjalan pengawasan oleh DPRD,” ujar Alex.
Dia berharap ada larangan bahwa kepala daerah tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan kalangan pejabat daerah lainnya. Hal itu untuk menghindari konflik kepentingan yang akan terjadi dalam pengelolaan suatu daerah.
“Saya sebetulnya berharap malah ada larangan ketika ada kepala daerah itu dia juga mempunyai hubungan keluarga, jangankan dengan ketua DPRD, dengan anggota DPRD saja seharusnya tidak boleh,” katanya.
“Supaya apa? Supaya pengawasan itu betul-betul berjalan, nggak ada lagi konflik kepentingan. Saya berharap Mendagri itu ada peraturan, entah itu peraturan Menteri Dalam Negeri, peraturan pemerintah, atau bahkan kalau perlu undang-undang secara tegas menyatakan nggak boleh,” sambungnya.
“Ketika itu terjadi, nggak ada proses untuk melakukan evaluasi terhadap kepemimpinan sebelumnya. Karena apa? Begitu dievaluasi, akan membuka borok-borok ya suaminya, istrinya, orang tuanya. Harus ada jeda paling tidak satu periode tidak boleh, supaya apa? Supaya kepemimpinan berikutnya itu ketika melakukan evaluasi dia tahu apa yang terjadi satu periode atau dua periode sebelumnya,” pungkasnya.(*)