Pilkada Bontang Berlangsung Ketat

  • Bagikan
Penulis: Andi Ade Elfathir

Secara empiris, dalam Pilkada, waktu enam hari tersisa sebelum hari pencoblosan, sudah agak sulit mengubah peta suara yang sudah terbentuk. Suara-suara itu sudah solid dan menguat. Ia hanya bisa bergeser oleh tiga hal: money politik, intervensi kekuatan signifikan dan adanya arus balik suara secara besar-besaran yang diakibatkan sebuah isu dramatis.

Maka jika merujuk pada release hasil survei terakhir Indo Barometer, kita akan berkesimpulan bahwa Pilkada Kota Bontang besar kemungkinan akan dimenangkan oleh pasangan Neni – Joni yang pada survei dengan 402 responden itu memiliki pemilih 53%, sementara Basri Rase di angka 28%. Sisanya adalah suara undecided.

Itu adalah pembacaan permukaan yang sederhana. Namun, jika kita ingin menelaah lebih eksploratif, sebenarnya Pilkada Bontang bisa berjalan lebih ketat dari yang kita sangka. Ada beberapa hal yang bisa menjadi landasan argumentasi teori ini.

Pertama, karakter suara petahana dalam survei cenderung berada pada batas bawah margin of error. Survei Indo Barometer itu ME-nya berkisar 4,8%. Jika ini maksimal menarik elektabilitas Neni – Joni ke bawah, maka angkanya bisa berada di bawah 50%. Angka yang kritis!

Kedua, survei-survei oleh lembaga kredibel lainnya di november dan oktober konsisten menempatkan pasangan incumbent ini di angka 57-58%. Nah, di survei Indo Barometer sebagai survei terakhir, terjadi penurunan cukup tebal yakni 53%. Melemah sebesar 4%. Sementara sang penantang konsisten menguat atau setidaknya tidak turun. Ini warning akan munculnya gejala arus suara melemah pada petahana. Ini ancaman serius. Apa lagi dalam skenario head to head, semua perubahan akan berefek dua kali. Jika si A melemah 5 misalnya, maka B menguat 10 secara selisih. Begitu pula sebaliknya.

Ketiga, dalam pengalaman-pengalaman survei beberapa periode di Bontang, suara undecided voters (suara yang belum menjawab, rahasia atau tidak tahu) cenderung mengumpul ekstrem ke kandidat yang diidentifikasi sebagai challenger/penantang. Ini sejalan dengan teori yang dikemukakan salah seorang ahli jajak pendapat dunia Robert Cahaly, bahwa tekanan sosial psikologis membuat responden terkadang tidak mau terbuka atas pilihannya. Mereka sebenarnya cenderung ke kandidat penantang, tapi bayang-bayang incumbent yang menguasai hampir seluruh elemen kekuatan masyarakat membuatnya memilih menjawab rahasia atau tidak tahu. Ini lampu kuning bagi semua lembaga survei untuk memperbaiki seluruh kontrol kendali mutunya.

Nah, tiga analisa itu cukup kiranya menjadi diskusi kita selama lima hari menunggu pencoblosan Pilkada di Kota Bontang. Bahwa Pilkada akan berjalan ketat dan alot. Bahwa semua skenario bisa saja terjadi. Bahwa semua memiliki peluang untuk menang. Incumbent kita, pasangan Neni – Joni meski secara survei memiliki peluang keterpilihan lebih besar, sekali-kali tidak boleh berkesimpulan mutlak menang. Kemenangan hanya ada di hari pencoblosan. Tidak di hari-hari penantian ini. Apalagi tensi Pilkada kian hari kian menaik. Semua orang ingin menang. Bahkan banyak yang hanya siap menang, tak siap kalah. Pun demikian halnya Sang Penantang Basri – Najirah. Survei adalah rujukan paling ilmiah dalam pemilu. Tak boleh abai terhadap hasil survei. Ia membimbing kita untuk menelaah peluang dan celah kemenangan sebagaimana analisa di atas. Penantang memang harus seperti itu adanya, satu langkah panjang juara bertahan haruslah diimbangi dengan dua langkah cepat dari penantang.

Tulisan ini adalah pendapat tengah dari seorang surveyor. Kita bisa mengambilnya sebagai pemantik baru debat analisa yang produktif antara kubu. Baik di warung-warung kopi maupun di tempat-tempat kongkow lainnya. Karena sebenarnya, debat di belakang layar jauh lebih seru dibanding debat panggung yang serba diatur.

Karena memang begitulah para Timses terlahir: susah diatur, sulit dinasihati.(*)

  • Bagikan