BONTANG – Menyambut Hari Kebebasan Pers Internasional, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) luncurkan catatan situasi kebebasan pers dalam setahun terakhir.
Dalam catatannya, AJI menuliskan bahwa terdapat 90 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis dari Mei 2020 hingga Mei 2021. Jika dihitung pada periode sebelumnya, terjadi peningkatan sebanyak 57 kasus.
Dapat disimpulkan bahwa situasi di masa pandemi ancaman kebebasan terhadap jurnalis makin banyak. Kebebasan pers memburuk ditengah pandemi.
Selanjutnya, AJI juga mengidentifikasi jenis ancaman yang didapatkan oleh kalangan pewarta. Dimana Intimidasi verbal menjadi hal yang paling sering diterima, menyusul perusakan alat kerja.
Kekerasan fisik berada diposisi tiga, disusul ancaman kekerasan (teror) serta kriminalisasi. Selanjutnya, kasus pengusiran atau pelarangan liputan, lalu tindakan sensor atau pelarangan pemberitaan hingga terakhir, yakni kasus gugatan perdata.
Untuk pihak yang mengancam kebebasan pers, institusi kepolisian menjadi yang paling sering melakukan kekerasan terhadap jurnalis dalam setahun terakhir ini. Dalam survey AJI, Kepolisian mengungguli pelaku-pelaku kekerasan pers lainnya.
Kasus Nurhadi, jurnalis tempo yang dianiaya saat bertugas oleh beberapa anggota polisi menjadi kasus yang paling baru.
Di bawah instansi Kepolisian, ada pihak yang tidak dikenal, lalu menyusul Satpol PP, kemudian pihak pejabat pemerintah baik itu eksekutif maupun legislatif. Bahkan ancaman kebebasan pers pun datang dari Jaksa hingga advokat.
Untuk kasus kekerasan berbasis digital, teror serangan digital pada jurnalis juga tergolong serius. Kasus doxing tergolong paling banyak dilakukan. AJI mencatat bahwa tren ini belum pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
AJI mencatat dalam teror digital ada 14 kasus teror berupa serangan digital. Dalam kasus tersebut, disebutkan bahwa 4 media online dan 10 jurnalis menjadi korban. Kemudian untuk jenis serangan, kasus doxing diurutan pertama dengan 8 kasus, menyusul 4 kasus peretasan dan 2 kasus distributed denial-of-service (DDos).
Hal penting lainnya yang tidak bisa diabaikan terkait masalah kekerasan seksual (KS) yang merupakan hambatan serius dalam kebebasan pers.
AJI Jakarta dalam surveynya tahun lalu menyebutkan bahwa dari 34 jurnalis yang mengisi survei, 25 diantaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Untuk pelaku sendiri berasal dari berbagai kalangan, seperti narasumber pejabat publik, narasumber non pejabat publik, dan rekan kerja (atasan, rekan sekantor non atasan, dan rekan sesama jurnalis dari media yang berbeda).
Untuk itu, AJI mendorong agar perusahaan media memiliki SOP penanganan kekerasan seksual dan mendesak DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS).
Selanjutnya, AJI turut mencatat regulasi-regulasi yang dianggap menjadi penghambat kebebasan pers. Selain telegram Kapolri yang sudah dicabut, masih terdapat regulasi lain yang menjadi persoalan serius, terutama UU ITE. Dari 8 jumlah pasal bermasalah, 2 pasal seringkali dipakai untuk menyeret jurnalis ke penjara.
Berikut jenis regulasi yang menghambat kebebasan pers, antara lain : UU ITE, RKUHP, PP Postelsiar, Peraturan MA tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan dan Telegram Kapolri tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik.
Diakhir, AJI memberikan sorotan terkait siklus kekerasan yang tidak pernah berhenti di Papua. Bagaimana tidak, dalam 20 tahun terakhir, sedikitnya 114 jurnalis di Papua menjadi korban kekerasan. Selain itu, sikap pemerintah yang masih membatasi akses untuk masuknya jurnalis media asing.
Dari catatan tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak Presiden Joko Widodo untuk serius dalam melindungi kebebasan pers. AJI juga mendesak agar Presiden segera mencabut regulasi yang menghambat kebebasan pers dan mengusut semua kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. (AJI/Redaksi)