Pendidikan Dalam Cita-cita Revolusi Marhaenisme

  • Bagikan
Mujahid, Wakabid Politik DPC GMNI Kota Samarinda.

OPINI – Jika ditinjau secara etimologis maupun terminologis ideologi bukan hanya sekedar ide maupun konsep gagasan yang mengawang -ngawang atau utopis. Tetapi, didalamnya juga terkandung nilai eksistensi material yang mempengaruhi setiap praksis kehidupan manusia.

Dalam arti yang lebih kompleks ideologi adalah suatu konteks eksistensi nilai yang memberikan pemahaman konsepsi terhadap situasi atau kondisi yang menawarkan perubahan melalui sebuah proses pemikiran yang normatif.

Sesuatu dapat dikatakan ideologi ketika didalamnya terdapat nilai dasar, tujuan, dan nilai praksis bagaimana mencapai tujuan tersebut. Ini membuktikan bahwa ideologi dapat ditarik dalam masalah -masalah publik untuk membentuk suatu sistem nilai yang nantinya akan menjadi suatu inti perubahan.

Berangkat pada inilah saya tertarik untuk memposisikan ideologi marhaenisme dalam pendidikan guna memberikan sebuah gambaran terhadap kita bahwa pendidikan merupakan sebuah instrumen yang cukup penting bagi sebuah bangsa atau negara untuk melahirkan suatu inti perubahan yang lebih baik.

Barangkat pada ideologi marhaenisme, merupakan diskursus sistem nilai yang digali oleh Soekarno melalui alam sejarah/kondisi sosial masyarakat Indonesia (materialisme historis) yang kemudian melahirkan konsepsi tersebut.

Soekarno menganalisasi bagaimana kolonialisme dan imprealisme yang mencengkram bangsa Indonesia saat itu sehingga melahirkan suatu bentuk sintesa baru yang disebut sebagai Marhaenisme. Dimana dalam sintesa tersebut, Soekarno menghendaki adanya suatu susunan negeri atau masyarakat adil dan makmur .

Marhaenisme sendiri dalam konsepnya berbeda dengan jalan ketiga sebagaimana yang dicetuskan Anthony Giddens melalui ‘the third way’ nya yang mencoba mendamaikan dua kutub ideologi di eropa pada masa itu yaitu, kubu liberal dan kubu sosial Demokrat. Dalam konsepnya lebih menekankan bagaimana mempersiapkan untuk menghadapi pasar bebas.

Dalam hal ini upaya tersebut dianggap hanyalah sekadar peleburan cakrawala berpikir yang akan melahirkan penindasan baru yang bernaung dalam topeng kemanusiaan. Marhaenisme murni lahir sebagai sintesa kolonialisme dan imprealisme yang telah melakukan penghisapan terhadap negara -negara dunia ketiga.

Berbeda dengan Gddens, Bung Karno dalam marhaenisme-nya secara konsep masih menganggap bahwa pendidikan terhadap kaum marhaen adalah instrumen yang sangat penting karena pendidikan dianggap sebagai alat atau hegomoni massa untuk melakukan penyadaran.

Hal ini selaras dalam konsep penyelenggaran pembangunan indonesia menurut bung Karno yang harus meliputi tiga hal, yaitu state building, nation and chatacter building, sosial ecenomic developing building.

Pendidikan merupakan instrumen yang cukup vital dalam aspek pembangunan karakter bangsa (nation and chatacter building) hal ini selaras bahwa pendidikan masih dianggap sektor yang cukup ideal atau suci untuk menanamkan nilai-nilai ideologis dalam diri generasi bangsa untuk membentuk wataknya menjadi generasi -generasi yang setia terhadap cita-cita revolusi bangsa.

Pendidikan masih dianggap menjadi soko yang tepat bagaimana mengarahkan bangsa dan negara keluar dari keterkungkungan dan ketertindasan. Hal ini relevan dalam dua fase revolusi indonesia menurut Bung Karno yaitu, revolusi nasional-demokratis dan sosialisme Indonesia.

Dimana membangun pendidikan merupakan alam fase nasional-demokratis untuk menyiapkan syarat-syarat untuk dimulainya fase selanjutnya, yakni revolusi sosilis. Syarat-syarat itu, antara lain mencerdaskan kehidupan rakyat, mendorong demokratisasi seluas-luasnya, dan membangun mental dan kepribadian sebagai sebuah bangsa. Dalam hal ini pendidikan dianggap tepat untuk melaksanakan fase-fase tersebut.

Pendidikan pun menjadi instrumen untuk membentuk kecakapan teknik dan pengetahuan yang merupakan syarat untuk mendorong terwujudnya sosialisme Indonesia ini sejalan dengan dalam konsep proposisi marxisme yang kemudian diadopsi Bung Karno dalam marhaenismenya, bahwa perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan teknik dan kecakapan manusia, melahirkan perubahan corak produksi.

Namun, kekuatan produktif itu juga harusnya dibangun dalam relasi produktif yang bersifat gotong royong. Itulah yang Bung Karno sebut sebagai soko gurunya pergaulan hidup yang sosialistik.

“Sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi Indonesia bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang ‘in een slapeloze nacht’ (dalam satu malam yang tidak tidur), juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia. Sosialisme indonesia adalah suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu ‘historische Notwendigkeit’ suatu keharusan sejarah,” tegas Bung Karno dalam salah satu tulisannya.

Karena itu, sosialisme Indonesia akan diperkaya dengan tradisi progresif yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia, yaitu gotong royong.

Pada hakitnya untuk mencapai Revolusi harus punya program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol yang dirumuskan dengan jelas dan tepat dasar/tujuan dan Kewajiban-kewajiban Revolusi, Kekuatan-kekuatan Sosial Revolusi , Sifat Revolusi, Masa Depan Revolusi, dan Musuh-musuh Revolusi.

Selanjutnya, pendidikan sendiri menjadi instrumen penting untuk mengkonsolidasikan secara nilai dalam membentuk kesedaran kita sebagai kader-kader revolusi untuk setia kepada program revolusi bangsa.

Sejatinya, revolusi harus punya soko guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh-kemuka, yang konsekuen yang sanggup melaksanakan tugas-tugas revolusi sampai pada akhirnya, dan revolusi juga punya kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • Bagikan