Oligarki Mengakar dalam Demokrasi Indonesia

  • Bagikan

Oleh : Petrus Kanisius Siga

Dalam sistem demokrasi modern, secara teori, partai politik bersifat inklusif, terbuka untuk semua warga Negara. Masing-masing orang memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing masuk dan urun rembuk ke dalam struktur partai.

Namun, di Indonesia, pada kenyataannya, partai politik yang ada rentan disandera oleh berbagai kepentingan kelompok sehingga sifatnya berubah menjadi amat eksklusif, bahkan, cendrung feodal karena diwariskan secara turun temurun melalui patronasi kekeluargaan maupun kolega.

Partai politik yang ada terkesan lambat beradaptasi dengan sistem politik baru Indonesia yang dihembuskan oleh semangat reformasi pada dua dekade yang lalu

Salah satu faktor penyebab melemahnya proses demokratisasi melalui partai politik adalah adanya cengkeraman yang kuat pada sistem partai oleh sekelompok orang. Orang-orang ini menggunakan kekuatan material untuk mendominasi struktur partai, mengendalikan arah politik, dan menghalangi setiap upaya perbaikan sejak dari akar rumput.

Dalam buku Republik, Plato menamai sekelompok orang ini dengan sebutan oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang dilakukan oleh “orang-orang serakah” yang sangat mencintai uang sehingga “mereka enggan membayar pajak” untuk kebaikan bersama.

Meskipun dalam bahasa Yunani oligarki secara harfiah berarti pemerintahan oleh segelintir orang, Plato menggantikannya dengan sedikit orang kaya untuk membedakan oligarkidari timokrasi

Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy menyebut oligarki, sebagai kelompok minoritas berbasis materi yang mengarahkan kekuatan materialnya secara politis untuk mempertahankan kekayaannya dari berbagai ancaman seperti Negara, oligarki lain, masa rakyat, atau kombinasi ketiganya.

Ketika menghalau ancaman yang datang, para oligarki menempuhnya dengan beragam cara, dari menggunakan kekuatan perlindungan pribadi, instrumen koersif, supremasi hukum, hingga kesepakatan bersama untuk mempertahankan kekayaan mereka.

Winters berpendapat bahwa ada empat jenis oligarki, yang masing-masing berupaya menjaga kekayaannya melalui cara yang berbeda. Oligarki ini dikategorikan berdasarkan sifat (pribadi atau kolektif) dan bentuk pendekatan (paksaan atau kompromi)

Empat jenis oligarki tersebut adalah (1) oligarki yang berperang, seperti jendral perang. Mereka adalah oligarki yang memiliki milisi bersenjata. (2) Oligarki mafia yang bersifat kolektif yang juga bersenjata. (3) Oligarki berbentuk sultanistik yang bergerak melalui sistem koneksi pribadi. (4) Oligarki dalam pemerintahan yang bersifat kolektif dan dijalankan melalui supermasi hukum.

Di Indonesia, kelompok oligarki memiliki sejarah panjang dan hidup berkelindan dengan perubahan gerakan politik dari waktu ke waktu. Meski terus berganti rupa, namun, wataknya selalu sama. Reorgansiasai adalah kunci bagi oligarki bertahan dari setiap perubahan.

Pasca reformasi, oligarki yang dipelihara Orde Baru menemukan kembali dirinya dengan menjajah institusi demokrasi Indonesia melalui partai dan parlemen. Mereka akhirnya dapat kembali eksis berkat disorganisasi masyarakat sipil yang endemik dan sistematis yang ditopang oleh puluhan tahun pemerintahan otoriter yang kaku dan seringkali brutal.

Konsekuensinya jelas, kekuatan sosial yang secara efektif mewakili bentuk alternatif politik liberal atau sosial demokrat hampir tidak terlihat setelah jatuhnya Soeharto. Hingga hari ini, yang kiri tentu akan selalu dibenci serentak akan dilenyapkan secara represif.

Secara garis besar, Robison dan Hadiz menjelaskan bahwa upaya reorganisasi oligarki di Indonesia dilakukan di bidang ekonomi dan politik. Kunci keberhasilan reorganisasi oligarki tersebut terletak pada kelenturan jaringan otoritas politik dan kepentingan ekonomi yang menopang dan mencirikan oligarki serta menjalar di dalam institusi Negara itu sendiri.

Masih menurut Robison dan Hadiz, salah satu upaya bertahan hidup, jaringan oligarki memanfaatkan ruang yang disediakan oleh proses desentralisasi. Dengan didukung kekayaan material yang berlimpah, jaringan oligarki lama ini berusaha tetap menjadi kekuatan dominan di tingkat lokal. Hal itu dilakukan dengan menguasai partai politik, memainkan politik uang dan suap, serta mengerahkan aparat kekerasan non-Negara untuk menghalau segala macam ancaman.

Dengan demikian, elemen-elemen oligarki tetap hidup dengan bentuk jaringan patronase baru yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing satu sama lain dengan memanfaatkan berbagai perubahan institusi.

Selain itu, menurut Crouch, oligarki dewasa ini berevolusi melalui pengambil alihan peran masyarakat sipil– terutama kelas menengah yang memiliki kepedulian dan kesadaran politik untuk membangun tatanan politik yang berkeadilan, berkemanusiaan, dan sederajat (equal).

Namun, Berbeda dengan karakter kelas menengah penggerak demokrasi, oligarki lebih berorientasi pada pendekatan populisme untuk menopang kekuasaan yang lebih eksklusif, terutama dalam soal formulasi dan implementasi kebijakan pemerintah.

Mereka berusaha menciptakan wacana politik baru berikut “opsi-opsi solusi praktis” sebagi sikap politik publik yang diklaim sebagai “kepentingan umum” atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.

Slogan populisme yang dimunculkan, alih-alih digunakan sebagai kekuatan antagonis terhadap oligarki, justru gagal menjadi kekuatan perlawanan alternatif terhadap praktik-praktik demokrasi Indonesia yang telah dikooptasi secara sistemik oleh oligarki predator.

Agenda populis semata-mata diarahkan untuk merealisasikan kepentingan pribadi termasuk mengamankan sumber daya ekonominya, sehingga dapat dipastikan berbagai jargon politik yang dikumandangkan orang-orang ini hanya bersifat superfisial, karena telah dikacaukan oleh agenda pribadi. Dalam kondisi seperti ini, nuansa dan atmosfir oligarki menghantui dinamika kehidupan politik riil.

  • Bagikan