Objektivitas dan Subjektivitas dalam Survei Pilkada

  • Bagikan

Mengapa sebuah hasil survei yang dipublikasikan dalam masa menjelang Pilkada sering memicu polemik yang bertensi tinggi? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita memulai dengan menjawab pertanyaan pendahuluan: “apa itu Survei Pilkada?”

Survei Pilkada adalah sebuah kegiatan penelitian secara komprehensif tentang faktor-faktor pembentuk pilihan dalam Pilkada. Survei merekam perilaku populasi pemilih (voting behaviours) yang direpresentasikan oleh responden yang dipilih. Pemilihan responden ini memakai kaidah statistik yang ketat. Maka ia disebut kuat secara ilmiah.

Dengan definisi di atas cukup kiranya untuk tak perlu mempersoalkan hasil sebuah survei. Kita hanya perlu sedikit memperbaiki cara baca kita terhadap hasilnya. Pertama sekali, survei itu bukanlah matematika pasti. Dalam matematika, dua tambah tiga adalah lima. Hasil itu berlaku kemarin, hari ini dan besok. Tapi angka survei adalah statistik. Satuannya biasanya prosentasi. Angka 57% hari ini misalnya, tidak berlaku tetap. Ia bisa bertambah atau pun berkurang dalam sebulan, bahkan hari. Nah, faktor-faktor penambah atau pengurang itulah yang harus ditemukan. Temuan popularitas, afeksi dan elektabilitas hanyalah akumulasi gejala. Kebanyakan dari kita sering berhenti di poin itu. Padahal, tujuan survei lebih jauh. Survei akan mengeksplorasi bagaimana angka itu terbentuk. Bagaimana mempertahankan, membuatnya lebih besar atau mengecilkannya. Apa alat up grade atau down grade-nya. Bagaimana melakukannya serta kapan dilakukan. Dan seterusnya.

Jadi sebenarnya, tak perlu risau dengan hasil survei, pun tak perlu juga jumawa seolah sudah menang hanya karena hasil survei besar. Beberapa kasus kekalahan justru berawal dari hasil survei yang melenakan kandidat. Lupa bahwa suara pemilih selalu berubah-ubah oleh faktor-faktor tertentu. Kemenangan hanya ada di hari pemungutan suara. Bukan hari ini.

Lalu, apakah ada pengaruh hasil survei terhadap pemilih yang dirilis dalam masa kampanye? Mungkin ada, tapi kecil. Dulu Lembaga Survei Indonesia (LSI) pernah khusus meneliti soal ini. Hasilnya kecil. Band wagon atau pun under dog effects tak terjadi secara dramatis hanya karena sebuah hasil survei. Angka survei hanya memperkaya khasanah diskusi di kalangan pewarta, pengamat dan juga wara wiri warung kopi.

Kembali ke pertanyaan awal kenapa hasil survei bisa menimbulkan kontroversi? Karena kita cenderung mengedepankan subyektifitas dalam menilai sesuatu. Terkadang kita memakainya untuk menuding orang lain subyektif. Kita atau tepatnya orang-orang yang terlibat dalam kontestasi pemenangan kandidat selalu dalam keadaan siaga dengan otot kuda-kuda siap serang. Senggol sedikit bacok. Kira-kira seperti itu. Padahal adalah sangat biasa di setiap pemilu ada publikasi-publikasi hasil survei. Di semua negara bahkan di Amerika sudah menjadi sebuah tradisi. Hasilnya pun kadang keliru meramalkan pemenang. Saat Donald Trump berhadapan dengan Hillary Clinton dulu, hampir semua lembaga survei meramal Hillary yang akan menang. Faktanya Si Cowboy Trumph yang unggul.

Bagaimana dengan tudingan lembaga survei dibayar? Ya, pastilah dibayar. Survei itu perlu ongkos. Puluhan bahkan ratusan juta untuk melakukannya. Dia dibayar untuk menemukan faktor-faktor penting pembentuk pilihan. Ini dibutuhkan oleh tim pemenangan, maka sangat jarang dipublikasikan. Publikasi biasanya untuk hal-hal umum saja. Apakah hasil survei tentang potret elektabilitas itu rekayasa atau bohong-bohongan? Jawabnya, tidak. Lembaga Survei yang kredibel takkan berbohong. Kalau salah, mungkin saja iya.

Jadi, kontroversi dalam menanggapi hasil survei adalah pertentangan antara objektivitas dan subjektivitas. Dua kecenderungan pandang yang berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran kita. Objektivitas mengukur hal-hal yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia. Sedangkan subjektivitas adalah fakta yang ada di dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan dan perasaan. Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya. Keduanya memiliki kelebihan-kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan, objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif.

Contoh kita mengukur sebuah kambing hitam dengan umur dua tahun dan berat 30 kilogram. Warna, umur dan berat itu adalah fakta objektif. Persepsi seseorang tentang kambing yang sedang kita ukur akan sangat beragam. Misalnya menganggap kambing jelek, sedang, atau bagus. Nilai yang dihasilkan oleh penelitian secara objektif menghasilkan kebenaran tunggal, tapi kemudian akan runtuh jika ada hasil lain yang menunjukkan perbedaan. Sementara penelitian secara subjektif cenderung majemuk, amat bergantung pada konteks.

Objektivisme berdasarkan pada kejadian yang sesungguhnya. Sedangkan subjektivisme berdasarkan pada pendapat orang tersebut bahwa sesuatu “ada” karena dianggap hal tersebut memang “ada”.

Ada subyektifis dan obyektifitas dalam membaca hasil survei. Jika mau manfaat dan mengambil pesan baik, bacalah secara obyektif.***

Penulis : Andi Ade Elfathir I Lembaga Survei Kaltim

Baca Juga : CARA UANG BEKERJA DALAM PILKADA

Baca Juga : CURANG

  • Bagikan