Menakar Kembali Emansipasi Lahirkan Perempuan Berjiwa Kartini

  • Bagikan
Elfrida Sentyana Siburian

OPINI – “Kecerdasan  otak saja tidak berarti segala-galanya. Harus ada juga kecerdasan lain yang lebih tinggi, yang erat berhubungan dengan orang lain untuk mengantarkan orang ke arah yang ditujunya. Di samping otak, juga hati harus dibimbing, kalau tidak demikian peradaban tinggal permukaannya saja,” Kartini.

21 April tentu hari yang paling bersejarah yang menandakan lahirnya sebuah gerakan baru. Gerakan yang mengingatkan kita untuk selalu mengenang dan meneladani perjuangan emansipasi yang dipelopori oleh pejuang perempuan. IBu kita, Kartini.

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat, nama panjangnya setelah menikah dengan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879 dan wafat 17 September 1904 di Rembang saat berusia 25 tahun. Meninggal di usia muda, selang empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, Soesalit Djojo Adhiningrat.

Kartini merupakan salah satu pahlawan perempuan Indonesia, yang mencetuskan lahirnya kesetaraan gender dan kesamaan kelas sosial dalam masyarakat Indonesia.

Habis Gelap Terbitlah Terang, merupakan kumpulan surat-surat Kartini yang selanjutnya dibukukan J.H. Abendanon, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Diterbitkan pada tahun 1911.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat. Sementara emansipasi wanita adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju.

Terlepas dari kisah sejarah yang inspiratif membuat kita perlu meninjau kembali usaha yang sudah dia lakukan kepada perempuan Indonesia. Kita sekarang berada di zaman yang serba canggih, budaya luar yang kerap kali kita serap sampai kita lupa akan kejadian beberapa tahun lalu.

Tentang Kartini, apakah kita masih mengenang jasanya? masih membekaskah usaha dalam perjuangannya yang dulu?

Membicarakan pergerakan perempuan tak akan pernah habis sepanjang masa. Apalagi dengan berbagai keresahan yang terjadi saat ini. Ketidakadilan yang masih menjelma, pelecehan, diskriminasi terhadap perempuan masih kerap kali berulang. Lantas, masihkah itu akan terus terjadi?

Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) setelah menempuh proses perjuangan panjang, menjadi satu kemenangan baru, khususnya bagi para korban yang umumnya perempuan. Hal yang wajib diingat, bahwa UU TPKS bukanlah hadiah, melainkan lahir dari perjuangan keras bertahun-tahun.

Di era sekarang ini, akses perempuan untuk mendapatkan pendidikan mengalami kemajuan, tidak lagi terkungkung pada budaya kolot yang menghilangkan perempuan dari haknya sebagai manusia.

Pun, terlihat posisi perempuan dalam bangku politik semakin meningkat. Berkaca dari pemilu terakhir, 118 perempuan atau setara dengan 20,5%, mengisi kursi DPR RI periode 2019-2024. Tentu ini adalah pencapaian tertinggi yang pernah diraih Indonesia.

Perempuan hari ini akan bebas berkarya, tentu inilah yang dirindukan oleh Ibu kita Kartini.

Perempuan hari ini harus lebih dari sekedar membaca, karena tantangan akan semakin sulit ke depan. Perempuan juga dituntut untuk menjadi pemikir, penganalisa, pengambil keputusan, pembuat gerakan baru dan menakar kembali jiwa dan semangat Kartini.

Kita-lah yang akan melanjutkan perjuangan Ibu kita Kartini. Kita-lah Kartini milenial, Kartini dari Generasi Z yang kreatif yang mampu menebarkan aura positif dan mampu menjadi terang dimanapun kita berada.

Kartini sudah tiada, namun bukan berarti perjuangannya juga mati. Kitalah yang menyandang gelar itu sekarang, kita dituntut memiliki jiwa seperti Kartini yang akan menumpas segala ketimpangan, dan menghapuskan segala stigma buruk, stigma yang mengkelas-duakan perempuan dari peradaban yang merupakan peninggalan masa lalu.

Karena emansipasi perempuan bukan bicara soal hak atau kesetaraan saja, tetapi bagaimana perempuan dapat berkembang dan maju dari waktu ke waktu tanpa menghilangkan jati dirinya.

Hari Kartini itu bukan hanya 21 April, tetapi setiap hari. Sebabnya, setiap hari kita berjuang dan bergerak. Kartini tidak sekedar bicara soal kebaya ataupun lagu Ibu Kita Kartini,  tetapi itu bicara soal semangat perempuan untuk terus maju tanpa merisaukan gender.

Maka berjuanglah para perempuanku, Habis gelap terbitlah terang. Kuucapkan selamat hari Kartini untuk para perempuan di seluruh nusantara.

Hidup Perempuan Yang Berlawan!


Penulis Elfrida Sentyana Siburian, saat ini tengah menempuh perkuliah di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman.

Mahasiswi Semester 4 ini juga aktif di organisasi mahasiswa, diantaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HIMAKSI), Unit Kegiatan Mahasiswa Kajian dan Permberdayaan Masyarakat (UKM KPM) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fisip Samarinda.

  • Bagikan