Kotak Pandora Lingkungan Hidup Dalam Pemindahan Ibu Kota Negara

  • Bagikan
Ikzan Nopardi (tengah) dalam aksi menanam 1000 pohon perlawanan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup.

SAMARINDA – Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) sudah bukan wacana lagi. Setelah diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada bulan Agustus 2019 lalu, DPR RI bergerak cepat dengan mengetok UU IKN di bulan Januari 2022 lalu. Terkesan kilat karena disahkan hanya dalam tempo 43 hari sejak di bahas di bulan Desember 2021.

Pro kontra pun bermunculan. Mulai dari aksi protes lewat aksi-aksi di jalan, hingga pengajuan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Hasilnya, pemindahan IKN tetap berlanjut.

Meski demikian diskusi terkait pemindahan IKN masih tetap berlanjut. Salah satu indikator pemindahan IKN dari perspektif lingkungan misalnya, didasari permasalahan yang dihadapi Ibu Kota Negara saat ini, DKI Jakarta. Seperti masalah kepadatan penduduk, kemacetan, polusi, banjir, hingga masalah geografis seperti dataran yang sudah menurun.

Namun, Kalimantan Timur juga masih memiliki permasalahan lingkungan hidup yang sering terjadi, yaitu deforestasi. Ancaman deforestasi meningkat jika tanpa perhitungan yang matang. Karena ekspansi wilayah menurunkan kuantitas hutan dan berdampak pada satwa langka yang tinggal didalamnya.

Ditambah dengan area hutan gambut sebagai vegetasi mayoritas merupakan area yang rawan terbakar, sehingga dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mulawarman (BEM KM UNMUL) sekaligus Koordinator Isu Lingkungan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan Ikzan Nopardi melalui tulisannya ‘Kotak Pandora Lingkungan Hidup Dalam Pemindahan IKN’ membeberkan ancaman pemindahan IKN terhadap lingkungan hidup di Kalimantan Timur.

Dalam tulisan tersebut, Ikzan memaparkan setidaknya ada empat alasan mengapa pemindahan IKN menjadi ancaman bagi lingkungan hidup di Kalimantan Timur.

Pertama, ancaman deforestasi hutan Kalimantan Timur.

Pemindahan ibu kota berarti membuka lahan untuk membuat ruang untuk bangunan-bangunan pemerintahan baru, rumah-rumah dan infrastruktur terkait lainnya. Berkurangnya luas dan kualitas hutan di Kaltim menjadi ancaman serius bagi keseimbangan ekosistem lingkungan.

Diperkirakan pemerintah telah menetapkan seluas 256.142 hektar wilayah daratan yang dibutuhkan untuk konstruksi pemindahan IKN, dan hal tersebut dapat menjadi penyebab utama ancaman deforestasi hutan di kawasan IKN.

“Pada tahun 2013-2017, pulau Kalimantan memiliki laju deforestasi tertinggi dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia, yaitu sekitar 528 ribu hektar per tahun,” jelas mahasiswa Psikologi yang juga pernah menjabat sebagai Presiden BEM FISIP UNMUL ini.

Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia (FWI), tutupan hutan alam di Kalimantan mengalami penurunnan yang signifikan dari tahun ke tahun. Total deforestasi khususnya di Kalimantan Timur selama periode 2015-2019 adalah 367.329 hektar.

Kedua, Kebakaran Hutan dan Lahan

Area hutan gambut, kata Ikzan, memiliki kecenderungan mudah terbakar, dan menjadi penyebab utama dari terjadinya kabut tebal yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Populasi yang sangat besar yang dekat dengan Sungai Mahakam dapat meningkatkan resiko kebakaran hutan gambut.

Hal ini diakibatkan oleh arus masuk para migran menuju Ibukota baru dapat mendorong ekspansi pertanian yang mengakibatkan masyarakat tetap sering membakar lahan demi ekspansi pertanian di Indonesia.

“terlepas dari larangan penggunaan api untuk membuka lahan yang ada pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut,” jelasnya.

Ketiga, pemindahan IKN menjadi ancaman bagi habitat flora dan fauna Khas Kalimantan

Deforestasi hutan yang terjadi terus menerus menyebabkan berbagai jenis flora dan fauna khas kalimantan seperti orang utan, beruang madu, pesut, dan bekantan yang termasuk spesies dengan status konservasi tinggi, dilindungi, endemik, dan spesies penting akan kehilangan habitatnya.

“akhirnya, secara perlahan keanekaragaman hayati mulai punah dan berdampak pada terganggunya keseimbangan ekosistem,” lanjutnya.

Terakhir, pemindahan IKN juga menjadi ancaman krisis iklim

Punahnya keanekaragaman hayati dan ketidakseimbangan ekosistem akan berdampak pula pada ancaman krisis iklim. Berkurangnya jenis tumbuhan atau pepohonan yang berperan untuk menyerap gas rumah kaca akan berjalan akan berdampak seiring dengan penurunan kadar oksigen yang tersedia.

“Ditambah dengan masih adanya 109 lubang tambang yang memerlukan penanganan lebih lanjut, yang jika dibiarkan akan berdampak terhadap bencana ekologis akibat melebihi batas toleransi daya dukung dan daya tampung lingkungannya,” pungkasnya.(*)

  • Bagikan