JAKARTA – Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Bangka Belitung dikabarkan memberi izin para siswa SMA/SMK di Bangka Belitung untuk membaca buku karangan Felix Siauw yang bertajuk Muhammad Al Fatih 1453.
Menanggapi hal ini, salah seorang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) melayangkan kritik keras kepada Kepala Disdik atas kebijakan tersebut. Menurutnya, pengarang buku tersebut adalah tokoh organisasi Hizbut Tahrir. Yang sudah dibubarkan.
“ Sekali lagi kami tegaskan, bahwa penulis buku tersebut adalah tokoh organisasi yang dibubarkan oleh pemerintah karena azas organisasinya bertentangan dengan Pancasila,” ungkap Ahmad Basyarah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (3/10/20).

Diketahui, Tokoh Muhammad Al Fatih merupakan tokoh sejarah Islam yang menjadi raja ketujuh pada masa ke-Khalifahan Turki Ustmani. Dirinya juga terkenal dalam catatan sejarah menaklukkan kontantinopel kala itu.
Menurut informasi yang disampaikan Basyarah, Kepala Dinas Bangka Belitung menginstruksikan para siswa. Untuk membaca buku Felix Siauw tersebut, kemudian merangkumnya dan mengumpulkan tugas tersebut ke sekolah masing-masing.
“ Setelah selesai semua sekolah harus melaporkan hasil rangkuman siswa ke kantor Cabang dinas Pendidikan di Kepukauan Bangka Belitung untuk diteruskan ke Dinas Pendidikan,” ujar Basyarah.
Lebih jauh dirinya menyampaikan, masih banyak tokoh masa lalu yang harus diteladani oleh para siswa, misalnya yang tercantum sebagai Pahlawan Nasional. “ Apa kurangnya ketokohan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, KH. Hasyim Ar’ari, Bung Karno atau ketokohan Jenderal Sudirman. Sepertinya sejarah merekalah yang lebih layak diwajibkan untuk membacanya.
Basyarah juga mengingatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk patuh kepada undang-undang nomor 5 Tahun 2014, yang membuat kewajiban taat dan patuh kepada ideologi Pancasila.
Dalam pasal 3 undang-undang tersebut, ASN bertugas berlandaskan prinsip nilai dasar, kode etik, kode prilaku, komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pelayanan publik. Ia juga mengingatkan ASN yang melanggar undang -undang tersebut, yaitu pemberhentian dengan tidak hormat.
Peristiwa ini, sekaligus menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa di dunia pendidikan, internalisasi nilai-nilai Pancasila belum dikuatkan oleh undang-undang. Tambah Basarah.
Pancasila, ungkap Basarah belum dinyatakan secara eksplisit dalam UU no 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah dan atas.
“Ini pekerjaan rumah kita bersama, akan tetapi, jangan karena pendidikan Pancasila belum dihidupkan dijenjang ini dalam undang-undang, lalu pembuat kebijakan didaerah bisa dengan seenaknya sendiri memasukkan nilai-nilai yang bertentangan dengan dasar negara kita yaitu Pancasila”, Tegas Ahmad Basarah. (*)
Editor : Supriono