Indahnya Membangun Persaudaraan

  • Bagikan
H Aswan Nasution

“Ukhuwah Islam seringkali rusak bukan karena ulah orang kafir, musyrik, dan munafiq. Ketahuilah bahwa bangunan persaudaraan itu berantakan karena digerogoti oleh ulah sesama Muslim yang saling hasad.” [Ulama].

RASA gembira ketika saudara kita berbahagia dan bersedih disaat yang lain tertimpa musibah, itulah yang disebut bersaudara.

Persaudaraan yang paling sederhana adalah lahirnya perasaan senang di saat saudara kita mendapat kesenangan dan turut berduka di saat saudara kita berduka.

Adapun puncak persaudaraan [ukhuwah] itu adalah merasa senasib dan sepenanggungan [at-Takaful].

Syariat Islam menempatkan persaudaraan [ukhuwah] bagian tertinggi dan terpenting dalam kehidupan.

Sirah Nabi Saw dan sejarah Islam mencatat perbagai peristiwa yang berkaitan dengan ukhuwah tersebut, di antaranya momen hijrah Nabi Saw dan para Sahabat.

Dalam peristiwa hijrah tersebut tergambar jelas wujud kasih sayang anatara kaum Muhajirin [pendatang dari kota Makkah].

Dua kelompok yang sebelumnya tidak saling mengenal seketika menjadi saudara melebihi persaudaraan atas dasar nasab.

Al-Qur’an menggambarkan: “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan [kepada orang-orang Muhajirin], mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia.” [Al-Anfal {8}: 74].

Ahli Tafsir menjelaskan bahwa redaksi “ulaika hum al-mukminuna haqqa” bermakna mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman.

Pilihan diksi tersebut menggambarkan bahwa keimanan seseorang belum dianggap sempurna jika nilai persaudaraannya masih belum sepenuhnya, apalagi sekadar basa basi atau sekadar aritifisial.

Melalui peristiwa hijrah Allah Swt hendak memperagakan secara utuh tentang arti persaudaraan dalam Islam.

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak sampai tingkat iman yang sempurna hingga seseorang mencintai saudaranya sebagaimana ia memcintai dirinya sendiri.” [Riwayat al-Bukhari dan Muslim].

Jika kita mengenakan pakaian layak dan bagus, maka selayaknya kita juga senang jika saudara kita berpakaian yang sama bagusnya.

Sebagaimana hati ini akan tergores kala menemui saudara-saudara kita yang tak punya pakaian layak. Kita bersedih dan segera mungkin memberinya.

Demikian halnya terhadap makanan. Jika selama ini kita merasa kurang andai makan hanya dua kali sehari, maka seharusnya itu pula yang diharapkan terhadap saudara kita. Merasa sedih dan segera mumgkin ingin berbagi dengannya.

Allah menegaskan karakter tersebut; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan oran-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan [kepada orang-orang Muhajirin], mereka itu sama lain lindung-melindungi.” [Al-Anfal {8}: 72].

Ukhuwah Islam seringkali rusak bukan karena ulah orang kafir, musyrik, dan munafiq. Bagunan persaudaraan itu berantakan adalah karena digerogoti ulah sesama Muslim yang saling hasad.

Orang yang hasad tidak rela atas pembagian rezeki, kehormatan, pangkat, jabatan, dan karunia yang telah dibagikan Allah Swt kepada manusia.

Mereka ingin kelebihan, keistimewaan, keberuntungan, kesuksesan, nama baik, popularitas, dan jabatan dimiliki sendiri.

Jika virus hasad telah masuk kedalam diri, maka ukhuwah indah itu menjadi nostalgia semata. Wallahu a’lam bish shawab.


H. Aswan Nasution

Alumni Al Qismul A’ly, Al Washliyah, Isma’iliyah, Medan.
Pengurus Wilayah Al Washliyah Provinsi Nusa Tenggara Barat [ NTB ] Priode: 2019-2024.

  • Bagikan