Hari Buruh Dari Masa Ke Masa Dan Situasi Saat Ini

  • Bagikan
Bung Alfonsius Limba, Wakabid Organisasi DPC GMNI Samarinda.

OPINI – Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional (may day) yang selalu dirayakan di seluruh dunia setiap tahunnya. Secara Historis sejak awal abad-19 perusahaan-perusahan di Eropa mempekerjakan buruh selama 14 – 18 jam dalam sehari, hal ini membuat buruh sadar bahwa mereka sedang dalam kondisi penindasan oleh kaum kapitalis, situasi saat itu membuat para buruh menuntut agar jam kerja dikurangi.

Gelombang protes mulai muncul  1 Mei 1886 puluhan ribu buruh di Amerika Serikat melakukan mogok masal dan turun ke jalan untuk menuntut agar jam kerja buruh dikurangi maksimal mereka  bekerja selama 8 jam dalam sehari, namun aksi demontrasi tersebut diwarnai dengan bentrokan antara polisi yang berpihak terhadap kaum kapitalis dan buruh, puncak dari bentrokan ini yaitu ketika meledaknya bom pada saat buruh masih menyampaikan tuntutannya dan menyebabkan korban berjatuhan.

Tiga tahun kemudian pada tahun 1889 di Paris saat Kongres Sosialis Internasional II untuk memperingati kejadian berdarah tersebut ditetapkanlah hari buruh yang jatuh pada Tanggal 1 Mei. Sehingga buruh tidak boleh bekerja untuk memperingati hari buruh tersebut dan buruh tetap dibayarkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Peringatan hari buruh di Indonesia di mulai sejak jaman penindasan Kolonial Hindia-Belanda, di mana situasi harga sewa tanah perkebunan terlalu murah dan buruh ( kaum pribumi ) yang dipekerjakan oleh Belanda dibayarkan tanpa upah yang layak, hal ini membuat berbagai macam protes dilakukan oleh rakyat Indonesia salah satunya yaitu HOS Tjokroaminoto bersama Soekarno yang berpidato mewakili Serikat Buruh Islam pada tahun 1921.

Dua tahun berikutnya, pertama kalinya mogok buruh dilakukan. Semaoen bersama Organisasi Vereniging van Spoor‐en Tramwegpersoneel (VSTP) atau Serikat Buruh Kereta Api dan Trem melakukan aksi mogok masal dikarenakan Belanda melakukan pemotongan gaji yang semena-mena terhadap buruh kereta api, aksi ini berhasil membuat lumpuhnya perhubungan transportasi kereta api, namun Intervensi Belanda yang masih sangat kuat membuat aksi mogok tersebut tidak bertahan lama.

Pada tahun 1926 dikarenakan berbagai macam protes yang dilakukan oleh rakyat Indonesia tentang hak buruh membuat pemerintah Kolonial Hindia-Belanda merasa terancam, oleh karena itu Belanda membuat kebijakan meniadakan hari buruh Internasional di Indonesia.

Setelah berhasil melepaskan diri dari belenggu Kolonialisme/penjajahan ditandai dengan proklamasi 17 Agustus 1945, hari buruh kembali di peringati di Indonesia dimulai sejak tahun 1946. Untuk melegitimasi hak buruh di Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno – Hatta dibuatlah undang-undang nomor 12 tahun 1948 yang di dalamnya mengatur jam kerja buruh, hak perlindugan anak dan hak perempuan sebagai pekerja.

Jatuhnya pemerintahan Soekarno dan berkuasanya rezim Soeharto menjadi mimpi buruk bagi kaum buruh. Perayaan hari buruh di Indonesia resmi dilarang. Rezim Soeharto beralasan peringatan hari buruh Internasional identik dengan aktivitas dan paham komunis sehingga libur nasional di Indonesia tanggal 1 Mei ditiadakan dan istilah buruh di ganti menjadi karyawan, karya (kerja) – wan (orang).

Pasca jatuhnya rezim Soeharto, tuntutan untuk peringatan hari buruh 1 Mei akhirnya disetujui di masa pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, disetujui setahun sebelum masa jabatannya habis (29 April 2013).

Pada pemerintahan Joko Widodo, sederet janji kampanye maupun program menjadi tawaran dari pemerintah. Diatas kertas, kaum buruh dianggap memiliki angin segar, namun benarkah demikian?

Situasi buruh di Indonesia saat ini masih sangat jauh dari kata sejahtera berbagai macam permasalahan masih dihadapi dan dirasakan oleh buruh itu sendiri, antara lain persoalan upah/gaji. Pembayaran upah yang tertunda atau tidak dibayarkan masih kerap kali dijumpai.

Praktek ini sering kali dilakukan oleh pihak perusahaan/ kaum kapitalis, demi kepentingan untuk mengakumulasikan modal sebesar-besarnya dan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya (Watak Kapitalisme) seringkali membuat buruh harus menunggu lebih lama untuk menerima upah mereka sampai-sampai bisa terjadi tidak terbayarkannya hasil dari kerja buruh tersebut.

Selanjutnya tentang Politik Upah Murah. Upah Minimum Regional (UMR) yang diatur tiap daerah berbeda-beda, disebut masih sangat kurang atau jauh dari kata layak.

Kalimantan Timur misalnya, melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 561/K/568/2021 menetapkan besaran UMR pada tahun 2022 sebesar Rp 3.014.497, 22. Besaran upah tersebut dianggap masih dibawah standar upah layak, jika dibandingkan dengan harga kebutuhan pokok yang ada di Kalimantan Timur.

Jika diperhatikan dengan seksama bahwa satu bulan gaji jika buruh menerima upahnya secara penuh buruh tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dalam sebulan, belum lagi mempertimbanhkan kenaikan harga bahan pokok yang sewaktu-waktu terjadi, serta pengeluaran dari jumlah tanggungan keluarganya.

Masalah jam kerja buruh, hingga saat ini juga masih menjadi masalah besar. Mengacu pada aturan lama, yang juga disesuaikan dengan UU Cipta Kerja, jumlah jam kerja dihitung tujuh jam dalam sehari dan 40 jam dalam sepekan untuk enam hari kerja. Atau, delapan jam dalam sehari dan 40 jam dalam seminggu untuk lima hari kerja.

Permasalahan kemudian seringkali muncul namun saat perusahaan menekan buruh untuk bekerja lebih dari jam kerja yang sudah diatur, salah satu faktor yang membuat hal ini terjadi yaitu perusahaan mengejar target produksi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam hal ini jam kerja lebih tersebut terkadang tidak dihitung oleh perusahaan dan buruh dihadapkan dengan situasi intervensi dari perusahaan sehingga buruh dipaksa untuk bekerja/ kerja gratis.

Selanjutnya, terkait persoalan yang dialami oleh buruh perempuan, yakni hak cuti haid, hak cuti hamil, dan hak cuti melahirkan. Permasalahan ini sering dihadapi oleh buruh perempuan, khususnya pekerja outsourcing, dimana situasi yang tidak bisa mereka hindari ini membuat buruh perempuan harus beristirahat sejenak/atau mengambil cuti.

Dalam prakteknya perusahaan terkadang tidak menanggung atau membayarkan hak cuti buruh perempuan (cuti haid, cuti hamil, dan cuti melahirkan) tersebut tentu hal tersebut sangat merugikan bagi buruh perempuan, hal ini membuat terkadang buruh perempuan harus memaksakan diri untuk bekerja.

Jika mengacu pada undang-undang no. 12 tahun 1948 dan undang-undang no. 13 tahun 2003 bahwa perempuan semesetinya diperbolehkan untuk beristirahat bekerja dalam situasi haid, sendang hamil atau setelah melahirkan dan gaji mereka tetap dibayarkan oleh perusahaan.

Selanjutnya masalah Hak Tunjangan Hari Raya (THR). THR merupakan kewajiban bagi perusahaan untuk diberikan kepada buruh menjelang hari raya keagamaan. Hal itu sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Permenaker 6/2016 dan pasal 9 ayat (1) PP 36/2021, yang berbunyi membayar THR adalah kewajiban setiap orang yang mempekerjakan orang lain dengan imbalan upah, baik itu berbentuk perusahaan, perorangan, yayasan, atau perkumpulan.

THR tidak dihitung atau dimasukan dalam gaji tetap buruh artinya bahwa THR dalam hitungan terpisah dari upah yang sudah ditetapkan. Namun, dapat dilihat bahwa masih banyak perusahaan-perusahaan tidak mau atau yang memberikan THR kepada buruhnya.

Berbagai macam permasalahan yang masih dihadapi dan dirasakan sampai saat ini tidak terlepas dari tanggungjawab negara itu sendiri. Harus di sadari bahwa buruh merupakan tulang punggung perekonomian bangsa, tanpa buruh roda perekonomian akan mati.

Maka, sudah semestinya dan sepatutnya negara dan perusahaan memperlakukan buruh seadil-adilnya demi mensejahtrakan kaum buruh.

Bersatulah Kaum Buruh, suarakan ketidakadilan yang masih terjadi sampai saat ini.

Selamat Hari Buruh Internasional!

  • Bagikan