GMNI Kaltim Desak Pemerintah Usut Tuntas Kasus Pengerusakan Mangrove Di Teluk Balikpapan

  • Bagikan

BALIKPAPAN – Teluk Balikpapan belakangan ini menjadi pusat perhatian publik, hal ini karena adanya perilaku beberapa perusahaan yang melakukan pengerusakan hutan mangrove.

Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Kalimantan Timur (DPD GMNI Kaltim) menyebutkan dalam catatan mereka, pengerusakan mangrove di Teluk Balikpapan terjadi sejak tahun 2018 sampai saat ini.

Dampaknya, jumlah luasan yang mengalami kerusakan sudah mencapai 80 ribu Hektare. Menurut mereka, petaka tumpahnya minyak di Teluk Balikpapan 2018 lalu menyebabkan sekitar 30 Haktare rusak akibat linbah B3.

Dugaan pengerusakan pun berlanjut di tahun ini. Menurut temuan Lembaga Swadya Masyarakat Pokja Pesisir dan Nelayan, salah satu perusahaan swasta PT. Mitra Murni Perkasa (MMP) yang membangun pabrik smelter nikel di sungai Tempadung, Teluk Balikpapan telah merusak sekitar 16 Haktare.

Meski kejadian pengerusakan Teluk Balikpapan ini sudah dilaporkan, dan tengah diroses oleh Gakum KLHK, Pokja Pesisir dan Nelayan justru kembali menemukan lagi perilaku perusahaan yang melakukan pengerusakan hutan mangrove di sungai Wain Kariangau, Balikpapan Barat dengan cara menebang sekitar 16 Haktare tanaman mangrove.

Perihal pengerusakan mangrove ini, Ketua DPD GMNI Kaltim Andi Muhammad Akbar menegaskan bahwa organisasinya telah mengambil sikap tegas untuk turut mengawal laporan yang sudah diterima Gakum KLHK, baik yang sedang ditindak lanjuti, maupun yang belum.

“Melihat peristiwa pengerusakan ini, kami tidak akan tinggal diam. Selain mengawal di Gakum KLHK, kami juga akan mengkaji secara mendalam dan akan melakukan kerja-kerja lain sesuai dengan metode kami,” kata Akbar, Jumat (29/04/2022).

Selain itu, GMNI Kaltim juga mendorong adanya ketegasan dari pihak pemerintah terkait pengerusakan hutan mangrove ini, baik itu Pemkot Balikpapan maupun Pemerintah Provinsi.

Menurutnya, jika perilaku pihak perusahaan ini tidak sesuai aturan maka pihaknya mendesak segera di cabut izinnya.

“Pemerintah jangan tanggung-tanggung, ayo dong cabut izin perusahaan yang merusak hutan mangrove di Teluk Balikpapan,” tegasnya.

Akbar menjelaskan bahwa sejauh ini pihaknya sudah melakukan kajian secara hukum, dan jika mengacu pada aturan hukum yang berlaku maka perusahaan yang melakukan pengerusakan mangrove ini harus diberikan sanksi yang tegas.

Dia beralasan bahwa dasar hukum yang mengatur itu sangat jelas berdasarkan ketentuan aturan hukum yang mengatur tentang perperlindungan hutan mangrove Pasal 35 Huruf (e) dan (f) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Aturan tersebut menjelaskan bahwa Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: (e). menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (f). melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;.

Dari ketentuan aturan hukum ini, setiap orang atau badan hukum yang melanggar diancam dengan ketentuan Pasal 73 Ayat (1) Huruf (b) yang berbunyi Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

“Sudah jelas sekali aturan hukum yang mengatur soal itu, jadi tidak ada alasan lagi untuk mengelak dalam penegakan hukum, khususnya kasus pengerusakan mangrove di Teluk Balikpapan ini,” pungkasnya.

  • Bagikan