Peristiwa Isra ‘dan Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab merupakan kisah perjalanan Baginda Rasulullah SAW dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis (Palestina) serta Mi’raj dari Masjidil Aqsha menuju Baytul Makmur di Sidratul Muntaha.
Dengan demikian, bulan Rajab ini menjadi bulan yang sangat penting, sangat luar biasa, dan sangat bersejarah dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Sehingga kejadian itu tak akan luntur ditelan waktu, tak akan usang usia; Selama masih ada Umat Islam di muka bumi ini, selama itu pula peristiwa yang paling fenomenal tersebut akan tetap diingat dan diperingati. Itulah Isra ‘dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa Isra ‘dan Mi’raj ini, telah difirmankan Allah SWT yang terlihat dalam Al-Qur’an pada surat Al-Isra’ ayat: 1 yaitu:
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al Masjidi Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “. (QS. Al Isra ‘: 1).
Hasil yang terpenting dari Isra ‘Mi’raj Nabi Muhammad SAW. adalah tentang menerima perintah shalat, sebab di Sidratul Muntaha, di tempat yang paling tinggi, dan yang mulia Rasulullah SAW menerima wahyu langsung dari Allah SWT yang mewajibkan shalat 5 waktu bagi setiap muslim.
Jadi yang terpenting dan utama dalam perjalanan perjalanan Isra ‘dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah yang terkait dengan ibadah shalat.
Seperti ibadah-ibadah lainnya dalam ajaran Islam, shalat pun mempunyai 2 demensi yang berpengaruh timbal balik yaitu: secara vertikal kepada Allah SWT sedangkan hubungan horizontal baik kepada pelaku shalat itu sendiri pergaulan sesama manusia, atau perlakuan bagi alam semesta ini.
Sehingga pada akhirnya shalat akan membuahkan selain amal shalih yang sangat tinggi nilainya, tetapi juga mencegah dosa berupa perbuatan keji dan mungkar.
Marilah kita dengarkan dan resapi firman Allah SWT dalam surat Al Ankabut: 45 yaitu;
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Qs. Al An-Kabut: 45)
Berkenaan dengan ayat yang memerintahkan shalat selalu dimulai dengan kalimat “aqimus shalah” (dirikan shalat) bukan “a’milus shalah” (kerjakan shalat)
Ada perbedaan yang tak kepalang tanggung ketika kedua kata tersebut terungkap untuk mengungkapkan sebuah realitas.
Kalau melakukan shalat, itu hanya sekedar menggugugurkan kewajiban. Sehingga selesai shalat tak segan-segan melakukan maksiat.
Sedang mempersiapkan shalat artinya mengerjakan shalat dengan baik dan benar, memenuhi syarat rukunnya, selesai shalat maknanya memanfaatkan dalam keuntungan nyata. Jadi ada Istimrar, kontinuitas, atau interaksi makna shalat dengan perilaku sehari-hari.
Jelas sekali, konsep shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar terletak pada pendekatan diri kepada Allah SWT. yang dilakukan menimal 5 kali dalam sehari semalam oleh seorang Muslim.
Selanjutnya yang terkait dengan ihsan, orang-orang yang telah riwayatkan oleh Abdullah bin Dinar, pada suatu hari ia berjalan bersama Khalifah Umar bin Khatab Ra. dari Madinah menuju Makkah.
Di tengah perjalanan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang sedang turun dari tempat pengembalaannya bersama kambing-kambingnya yang amat banyak.
Khalifah Umar ingin menguji sampai dimanakah sifat amanah yang dimiliki anak gembala tersebut, maka terjadilah dialog sebagai berikut:
“Wahai pengembala! Juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu,” kata Khalifah Umar.
“Aku ini hanyalah seorang budak pengembala,” jawab si gembala.
“Katakan saja nanti kepada tuanmu itu kalau anak kambing yang kamu makan serigala,” ujar Khalifah Umar seolah-olah mengajari si gembala.
“Kalau demikian, di mana Allah harus saya letakkan? Padahal selama ini Dia-lah yang saya imani,” jawab anak gembala itu dengan mantap.
Jawaban budak gembala itu memang sederhana dan lugas, tetapi sebenarnya pengertian pengertian yang sangat dalam.
Bahwa anak gembala tersebut telah memiliki ‘ihsan’ yang terhunjam tajam di dalam jiwanya; ia percaya benar meskipun bisa membohongi tuan pemilik domba-domba itu, tetapi Allah yang Maha Mengetahui tidak akan bisa dibohongi, sehingga ia mempertanyakan: “Dimana Allah harus ditempatkan?”
Dalam cuplikan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab Ra. api.
“Seseorang minta diterangkan tentang ihsan, maka Rasulullah SAW menjawab:” Hendaknya tepat waktu kepada Allah Swt. seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jikalau engkau tidak bisa melihat-Nya, maka Dialah yang melihat engkau. “(HR.Muslim).
Hadits ini mengungkapkan konsep ihsan yang sangat jelas, dan terang benderang, tetapi ihsan tidak tumbuh dan berkembang di dalam jiwa seseorang jika tidak berkembang dan dipelihara secara rutin.
Salah satu caranya dengan menyiapkan shalat secara teratur, paling kurang 5 kali sehari semalam, apalagi jika ditambah dengan shalat sunat lainnya seperti: tahajud, rawatib, dhuha, dan lainnya, maka kekuatan ihsan itu akan memancar ke dalam pergaulan sehari-hari sebagai penolak perbuatan keji dan mungkar di tengah-tengah masyarakat.
Seseorang yang telah menentukan shalat dengan baik dan benar secara ritin, khusyu ‘, tepat waktu (awal waktu), benar berdasarkan tuntunan shalat Rasulullah SAW.
Tentulah akan terhindar dari perbuatan keji, mungkar, tercela, merugikan masyarakat, mempermainkan agama, menipu bangsa dan negaranya, dan lain sebagainya.
Tak akan ada lagi korupsi, manipulasi, kolusi, menyalah gunakan, jual beli jabatan, curang, dan lain-lain.
Jika perbuatan-perbuatan itu masih ada dalam amal hariannya, maka tindakan itu harus dilakukan pada dirinya sendiri, sudah benar-benar shalat yang didasarkan? Sejauh manakah ia mempercayai konsep ihsan itu?.
Pada akhirnya semoga kita tetap dijadikan Allah sebagai hamba-hamba-Nya yang taat melaksanakan shalat dan mampu memancarkan cahaya ihsan serta mengambil hikmah yang terkandung dari peristiwa Isra ‘dan Mi’raj. Amiin.
Nashrum minallahi wa fathun qariib wa basysyiril mukminin.
Wallahu a’lam bish showab.