Dinasti Politik : Keluarga Silih Berganti Jadi Pejabat

  • Bagikan

Merawat bangunan bernama dinasti politik adalah bentuk cinta kasih dari anak kepada orang tua. Sudah seperti nguri-uri budaya yang terbangun sejak dulu kala.

Beritagar membuka tulisannya dengan sebuah kalimat yang bunyinya sebagai berikut:

“Dinasti politik, seakan rumput liar yang tumbuh di taman demokrasi Indonesia. Berkali-kali menjadi masalah dan dicegah, tapi tak pernah mati.”

Kalimat yang kalau dibaca dengan gaya berpuisi tentu terdengar sangat keren. Sangat heroik dan penuh suspense. Apalagi kalau yang baca almarhum W.S. Rendra. Bakal terdengar grande dan menusuk.

Atau dibaca oleh Sutardji Calzoum Bachri, dibawakan dengan adab puisi mbeling. Baca puisi sambil lompat-lompat kayak kodok, seperti ketika Sutardji membacakan “Tragedi Winka dan Sihka”. Tangan kiri menggenggam botol anggur dan tangan kanan memegang secarik kertas berisi naskah puisi.

Tapi memang dinasti politik ini sangat mbeling. Nakalnya kebangetan. “Berkali-kali menjadi masalah dan dicegah, tapi tak pernah mati,” tulis Beritagar.

Artikel tersebut menjelaskan bagaimana dinasti politik dibangun di Bontang, Kalimantan Timur. Baik lembaga legislatif maupun eksekutif dikuasai oleh satu keluarga; dari suami-istri ke ibu dan anak. Jabatan berpindah dari anggota keluarga satu ke anggota keluarga lainnya. Sudah seperti warisan dan politikus lainnya cuma ngontrak di sana.

Sekarang ini, Wali Kota Bontang adalah Neni Moerniaeni yang menang Pilkada 2016. Yang jadi ketua DPRD adalah anaknya, Andi Faisal Sofyan Hasdam. Faisal, mantan manajer Bontang FC yang beberapa tahun lalu pernah kena kasus narkoba tapi kasusnya nggak jelas juntrungannya, baru saja dilantik pada Jumat tanggal 4 Oktober 2019. Keduanya, ibu dan anak itu, berada dalam naungan rindangnya cabang dan rimbunnya daun Partai Golkar.

Bapak dari Faisal sendiri bernama Andi Sofyan Hasdam, yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Bontang pada 1999 hingga 2001. Setelah digelar pemilihan umum, Sofyan terpilih jadi Wali Kota Bontang dua periode, yaitu 2001-2006 dan 2006-2011.

Saat Sofyan jadi Wali Kota, Neni Moerniaeni, istrinya, ibu dari Faisal, jangan sampai salah, adalah ketua DPRD periode 2009-2014. You know what, ketika memegang jabatan Wali Kota, Sofyan terlibat kasus korupsi anggaran premi asuransi senilai Rp2,25 miliar yang bersumber dari APBD. Pada April 2012, beliau kena 1,5 tahun. Tidak terima, Sofyan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Januari 2014, MA kasih vonis bebas.

Di Bontang ada dinasti politik, di Klaten begitu juga. Masih ingat dengan penangkapan mantan Bupati Klaten, Sri Hartini, pada 2017 yang lalu?

Beliau ditangkap KPK karena menerima suap terkait promosi jabatan dalam pengisian susunan organisasi dan tata kerja organisasi perangkat daerah seperti diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. KPK mengamankan uang tunai sekitar Rp2 miliar dan pecahan mata uang asing US$5.700 dan SGD2.035. Catatan penerimaan uang juga disita.

Begitu Sri Hartini ditangkap KPK, wakilnya, Sri Mulyani, naik ke tampuk bupati Klaten. Ia juga akan maju ke Pilbup Klaten 2020.

Nggak komplet ngomongin dinasti politik kalau nggak nyenggol Dinasti Warrior, ahh, maksud saya Dinasti Atut di Banten.

CNN Indonesia menyebut dinasti politik ini seperti “raja-raja kecil”. Sebuah istilah yang cocok betul untuk disematkan kepada keluarga Ratu Atut Chosiyah. Ratu Atut adalah putri almarhum Haji Tubagus Chasan Sochib. Seorang pengusaha dan jawara dari Banten.

Dulu, Haji Tubagus Chasan logistik Komando Daerah Militer VI Siliwangi disuplai oleh beliah. Oleh sebab itu, Haji Tubagus Chasan mendapat banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi serta pemerintah Jawa Barat. Haji Tubagus Chasan mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Kamar Dagang dan Industri Banten, serta sejumlah organisasi bisnis lainnya beliau kuasai.

Haji Tubagus Chasan adalah pendukung wacana Banten lepas dari Jawa Barat. Beliau membantu gerakan pemekaran Banten. Setelah Banten resmi mandiri, Haji Tubagus Chasan mendorong keluarga besarnya, termasuk Ratu Atut, untuk aktif berpolitik. Dinasti politik Banten resmi dibuka.

Ratu Atut menjadi Wakil Gubernur Banten pertama pada Oktober 2002. Lima tahun kemudian, Ratu Atut menggantikan Gubernur Banten, Djoko Munandar. Ratu Atut sempat jadi Pelaksana Tugas Gubernur Banten karena Djoko kena kasus korupsi.

Ratu Atut menang Pilkada 2007 dan resmi jadi Gubernur. Haji Tubagus Chasan membangun pondasi, Ratu Atut menambahkan ornamen dalam bangunan dinasti politik Banten.

Sedikit trivia, per 8 Oktober 2019 yang lalu, KPK resmi menyita aset Tubagus Cheri Wardhana (Wawan), adik Ratu Atut, senilai Rp500 miliar. Kekayaannya terdiri dari sebuah rumah di Perth, Australia, hingga 111 buah SPBU. Mayak betul, 111 buah SPBU!

Wawan terjerat kasus pencucian uang dan korupsi sejumlah proyek di Provinsi Banten dengan nilai total nilai kontrak senilai Rp6 triliun.

Sejumlah proyek di Banten ini kata Kumparan, ya. Bukan saya. Kok bisa begitu? Ya dinasti poltik itu dekat dengan tindak korupsi. Lagi-lagi ini bukan saya yang bilang, tetapi kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Trivia lain, dinasti politik di Bontang dan Banten disokong oleh Partai Golkar sebagai kendaraan politik. Sementara di Klaten, PDIP yang jadi motornya.

Singkatnya, sih, dinasti politik sudah jadi budaya. Memegang kekuasaan itu terbukti enak. Kalau sudah nggak bisa megang jabatan, ya sebisa mungkin jabatan itu nggak lari ke orang lain. Jabatan, sudah seperti sepetak sawah atau selembar deposito. Jadi sebatas warisan untuk menjaga lumbung emas keluarga tetap berkilau indah.

Lagian, kalau orang tua sudah kasih dawuh atau perintah, sebagai orang-orang yang so-called memegang budaya ketimuran, pasti nurut. Mau kena kutuk kaya Malin karena melawan orang tua? Lagian manut saja itu bikin enak. Sudah bisa pegang jabatan, kaya raya, terpandang. Melanggengkan dinasti politik adalah bentuk cinta kasih dari anak kepada orang tua.

  • Bagikan