Demokrasi, Oligarki Partai Politik, dan Apatisme Masyarakat

  • Bagikan

Oleh : Nurrochman

Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti diterapkan di Indonesia, partai politik merupakan elemen penting. Partai politik memiliki peran strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen. Dalam alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dengan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan.

Di samping itu, partai politik juga mengemban setidaknya dua tugas berat lainnya, yakni melakukan kaderisasi dan pendidikan politik. Mekanisme keterwakilan menuntut adanya individu-individu yang duduk di kursi parlemen. Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang menjaring wakil-wakil tersebut. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk duduk di kursi parlemen.

Dalam cakupan yang lebih luas, partai politik juga dibebani tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik pada masyarakat. Sebagai subyek demokrasi, masyarakat dituntut memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya.

Namun dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana. Secara internal, partai politik bahkan kerapkali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme penjaringan calon anggota legislatif maupun kepala daerah oleh sejumlah partai.

Tampak jelas bahwa seleksi calon legislatif dan kepala daerah justru dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak memungkinkan dipantau oleh publik. Belum lagi soal fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan calon pemimpin daerah.

Model konvensi terbuka yang populer di Amerika Serikat agaknya belum sepenuhnya diadopsi oleh partai politik di tanah air. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa praktik itu justru mengancam demokrasi dalam lingkup yang lebih luas.

Dari mana oligarki partai bermula?
Secara umum, oligarki yang berasal dari Bahasa Yunani oligarkhia dimaknai sebagai bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang dijalankan oleh sekelompok kecil elit. Dalam konteks partai politik, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert Michels. Dalam bukunya Political Parties (1915) ia menyebutkan adanya gejala elitisme di tubuh Partai Sosial Demokrat Jerman.

Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.

Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut. Nyaris semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki -dalam istilah Pierre Bourdie- modal kapital dan sosial yang kuat.

Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanimse hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah. Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan sesiapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada.

Menjadi tidak mengherankan manakala dalam konteks usung-mengusung calon kepala daerah partai politik cenderung mengistimewakan figur-figur yang dinilai memiliki modal kapital. Acapkali figur itu bukan kader partai dan terbilang tidak memiliki basis pendukung yang berafiliasi dengan parpol tertentu. Keputusan partai untuk mengusung calon kepala daerah dari jalur non-kader ini tidak jarang menimbulkan polemik di kalangan internal partai. Kader partai yang telah berjuang dari bawah dan potensial tentu merasa ditelikung karier politiknya.

Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi kaderisasi macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah bagi pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah. Pendidikan politik diringkas ke dalam kampanye-kampanye yang gegap gempita, riuh oleh berita bohong dan sama sekali tidak mencerahkan. Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat konstituennya semata sebagai obyek politik lima tahunan.

Menggembosi proyek demokratisasi
Barangkali benar apa yang diasumsikan oleh Vedi R. Hadiz bahwa pengelolaan partai politik di Indonesia masih jauh dari kesan modern-demokratis sehingga terjebak pada pola oligarkis. Hal itu, menurut Hadiz dilatarbelakangi oleh dua hal.

Pertama, kuatnya tradisi patronase dalam tubuh parpol. Seseorang dengan modal kapital dan sosial yang kuat akan dengan mudah menduduki jabatan strategis dalam partai tanpa harus susah payah berjuang dari bawah. Kedua, bobroknya sistem pendanaan partai politik yang memungkinkan arus besar kapital melumpuhkan aturan-aturan internal partai politik. dua hal itu tentu tidak berdiri sendiri, alih-alih saling berkelindan dalam relasi yang kompleks.

Menguatnya oligarki politik seperti yang tampak dalam penjaringan calon kepala daerah di pilkada serentak 2018 adalah ancaman serius bagi demokrasi. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin fenomena deparpolisasi yang sebenarnya sudah mulai menggejala belakangan ini bermetamorfosa menjadi sikap apatisme terhadap politik.

Survei mutakhir mendapati hasil bahwa angka apatisme politik di kalangan masyarakat melonjak tinggi, bahkan mendekati angka 50 persen (SMRC, 2016). Sikap tidak acuh masyarakat pada politik atau lebih spesifik lagi pada partai politik boleh jadi adalah satu-satunya bentuk perlawanan yang bisa dilakukan masyarakat menyikapi kebobrokan demi kebobrokan yang dipertontonkan elit partai selama ini.

Mengembalikan esensi partai politik
Hampir dua dasawarsa sejak gerakan reformasi 1998, semua institusi demokrasi telah berbenah, kecuali partai politik. Sayangnya, nyaris tidak ada gerakan yang serius dan berarti untuk melawan praktik tersebut.

Kemenangan Joko Widodo pada 2014 lalu awalnya cukup memberikan harapan pada upaya mendobrak dominasi partai politik. Dalam kampanyenya, Jokowi berjanji untuk membentuk kabinet yang langsing dan diisi oleh profesional non-partisan. Sayangnya, harapan itu tidak berusia panjang. Mimpi kabinet langsing yang dihuni para profesional itu seketika sirna, karena seperti kita tahu, kabinet tetap gemuk, dan sebagian besar penghuninya adalah wakil partai.

Mengembalikan esensi partai politik sebagai pilar demokrasi menjadi agenda mendesak saat ini. Upaya itu tentu melibatkan kesediaan partai politik untuk melakukan reformasi internal serta partisipasi aktif masyarakat dalam gerakan berbasis civil society. Di lingkup internal, partai politik harus melakukan beberapa pembenahan. Salah satu yang paling penting ialah membenahi sistem pendanaan partai politik.

Ongkos politik yang mahal memaksa partai politik melakukan segala macam cara untuk mendapatkan pendanaan. Celah ini dimanfaatkan para pengusaha, konglomerat dan pelaku dunia korporat untuk masuk dan menancapkan oligarkinya. Di atas itu, langkah untuk menyederhakan mekanisme pemilu agar tidak mahal juga patut diupayakan secara serius.

Di luar ranah partai politik, gerakan sosial-politik berbasis civil society idealnya diarahkan untuk melawan oligarki partai politik. Fenomena deparpolisasi sebenarnya tidak selalu kontraproduktif bagi demokrasi jika tidak berakhir pada apatisme.

Deparpolisasi seharusnya menjadi semacam modal untuk membangun sebuah jejaring gerakan sosial. Tujuannya jelas; memunculkan figur-figur calon pemimpin alternatif yang lahir dari rahim gerakan sosial, bukan politisi karbitan bermental pemburu kuasa.(pp)

  • Bagikan