CURANG

  • Bagikan

Andi Ade Elfathir I Direktur Icon Institute

“Dalam Pilkada, pengetahuan tentang kecurangan adalah perlu. Kalau kamu tak mampu curang, maka kamu harus mencegah tak dicurangi. Tapi kalau kamu bisa melakukannya, curanglah. Kalau perlu lakukan secara monopolistik. Tak ada yang boleh curang kecuali kamu. Kuasai teknik kecurangan. Dan sekali lagi, jangan sampai musuhmu memainkan kecurangan.”
Ini adalah pesan kecurangan untuk orang-orang yang suka curang. Terdengar radikal memang. Tapi jika mau pragmatis menilai, saat ini kecurangan sudah menjadi salah satu bab cara memenangkan Pemilu. Para pemenang biasanya adalah mereka yang bukan hanya mampu mengambil hati pemilih, tapi sekaligus pandai bermain curang. Setelah Pemilu Legislatif kemarin, Lembaga Survei Kaltim (LSK) mewawancarai 50an orang yang lolos menjadi anggota DPRD yang tersebar di seluruh Kaltim. Hasilnya hampir 70% mengaku membeli suara alias money politics. Mereka ini jelas orang-orang curang. Karena politik uang adalah bagian dari kecurangan.

Nah, tulisan ini tentu bukan ajakan untuk curang dalam Pilkada. Ini hanya pesan, bahwa ada teori seperti itu. Sebut saja teori curang. Ia dimainkan oleh hampir semuanya. Modusnya bagaimana? Macam-macam. Ada yang memainkan kartu memilih, menyogok pemilih, menggelembungkan suara, nyoblos berkali-kali, kongkalikong dengan petugas TPS dan lain-lainnya. Yang paling jamak adalah main duit. Kenapa duit? Karena hampir tak ada orang yang tak suka uang. Dari pemilu ke pemilu jumlah orang yang menilai politik uang bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar terus meningkat signifikan. Uang adalah kekuasaan yang maha. Jika ini terus terjadi, maka ada saatnya pemilu tak lebih dari pasar jual beli suara. Seperti pasar ayam, sapi atau sayur-sayuran.

Mengapa dari pemilu ke pemilu kecurangan cenderung menaik? Bahkan dimainkan dengan makin kreatif? Pertama, karena celah untuk melakukannya selalu terbuka. Selalu ada kondisi atau ruang-ruang longgar untuk memainkan kecurangan. Sejak daftar pemilih, distribusi surat panggilan sampai aturan-aturan yang selalu berubah.

Kedua, masyarakat sudah kurang percaya pemilu ada gunanya untuk perbaikan nasib. Di mata mereka, pemilu adalah urusan terpisah dengan masa depan. Tak berhubungan sama sekali. Pemilu adalah agenda para politisi. Rakyat hanya pasar besar yang harus dimenangkan dengan uang dan gula-gula politik. Pikiran pendek ini membuat jual beli suara tumbuh subur. Pemilu menjadi milik mereka yang bermodal. Bisa melibatkan banyak orang. Terstruktur, sistemik, dan massif. Istilahnya mendekati itu.

Ketiga, sangsi hukum bagi pelanggar aturan pemilu sangat longgar. Beberapa kali petugas atau panitia kepemiluan yang tertangkap curang hampir tak terdengar adanya sangsi tegas. Sangat langka juga kita dengar adanya diskualifikasi terhadap kandidat politik yang curang. Sangsi-sangsi kepemiluan terdengar nyata hanya di tulisan aturan, tapi mirip dongeng di dunia nyata.

Banyak teori dan gagasan sudah dilontarkan untuk menjaga kualitas pemilu ditingkatkan. Banyak aturan dan modifikasi sistim sudah dilakukan demi menutup celah politik tipu-tipu itu. Tapi kecurangan tetap saja merebak. Ia telah seperti daki yang melekat di tubuh. Apalagi, kita memang makin jarang mandi. Daki itu makin menebal.

Mahzab determinisme menyebut kecurangan sudah ada sejak dunia ada. Ia tak bisa dimatikan. Seperti kebaikan dan kejahatan selalu niscaya, berdampingan dan saling bergumul membentuk harmoni kehidupan. Jadi, biarkan saja begitu. Toh pada akhirnya hasillah yang kita perlukan, proses tak begitu penting. Pemilu hanyalah cara untuk mencari pemimpin. Cara mendapatkan legitimasi. Itu sudah jauh lebih bagus daripada sistim monarki di mana raja sudah terpilih sejak dalam kandungan.

Tapi kita lalu bertanya, legitimasi apa yang kita dapatkan dari sebuah proses yang curang? Bukankah kebaikan harus dimulai dengan kejujuran?

Lha, Ken Arok juga memulai dengan kecurangan? Lalu setelahnya menjadi maharaja yang menurunkan raja-raja besar Jawa? Bahkan Assisi yang melakukan kudeta curang terhadap Moersi kini menjadi sangat kuat di Mesir disokong oleh negara-negara demokrasi seperti Amerika dan kawan sealiran?

Jadi, bagaimana cara kita memandang kecurangan? Seperti awal tulisan ini, paling penting adalah ia perlu diketahui sebagai sesuatu yang ada. Tak boleh meremehkannya. Pilkada adalah sebuah perang. Orang-orang datang dengan beragam senjata. Dari yang memiliki banyak centeng, preman, sampai tukang beli suara yang bawa duit banyak.

Jadi, dalam pemilu yang keras ini, pengenalan terhadap lawan adalah mutlak. Pelajari potensi kecurangan, dan kalau perlu jalin komunikasi sebaik-baiknya dengan mereka. Agar, cukup pengetahuan dasar untuk mengantisipasi peluang kecurangannya.

Tapi, jika dalam sebuah kompetisi semua orang berlaku curang, dari pemain, penonton dan bahkan wasit terlibat di dalamnya; periksa sekali lagi, jangan-jangan memang kecurangan adalah sesuatu “yang dibolehkan.” Kalau ini benar, maka carilah cara curang yang paling cerdas, dan yang paling pokok adalah yang tidak ketahuan.

Pilkada semakin dekat, semua orang ingin menang.

  • Bagikan