CAHAYA DIATAS CAHAYA

  • Bagikan

Materi adalah penampakan, bukan keberadaan. Segala benda yang ada di alam semesta ini, yang terlihat oleh mata kita, yang masuk lewat panca indera kita, itu semua tidaklah nyata.

Benda dapat terlihat oleh mata jika terdapat gelombang dengan kekuatan tertentu yang dipantulkan oleh benda itu dan jatuh ke retina mata kita. Sehingga apapun yang terlihat oleh mata kita, sebenarnya hanyalah persepsi dari pikiran kita yang dipengaruhi oleh penerimaan retina mata semata. Jadi, yang terlihat oleh mata hanyalah pantulan cahaya dari suatu benda, bukan esensi dari benda tersebut.

Yang kita lihat adalah fana, dan yang sejati adalah yang tak terlihat oleh mata fisik, tapi terasa oleh keyakinan mata hati dan mata nurani.

Alam semesta ini hanyalah sekedar lautan energi yang bergetar-getar. Semakin halus getarannya, maka semakin ghoib, dan semakin banyak variasi gelombang getarannya. Maka pada tingkatan tertentu lautan energi itu seolah-olah membentuk sebuah benda, gambar, fisik, aroma, dan lain sebagainya.

Yang kita pahami sebagai gambar, suara, aroma dan lain sebagainya sebenarnya itu semua adalah Energi yang kita tangkap melalui panca indera kita (mata, hidung, telinga, kulit, dan lidah), yang kemudian dikirim ke otak melalui sinyal-sinyal elektromagnetik.

Suatu materi berwarna merah karena benda tersebut memancarkan gelombang dengan frekuensi tertentu (625-740 nanometer). Artinya, warna merah sejatinya hanyalah getaran-getaran yang memancarkan cahaya dan menggetarkan sel-sel retina mata, sehingga muncul persepsi warna yang diterima oleh otak kita.

Albert Einsten mengatakan bahwa Cahaya itu Absolut, sedangkan Ruang dan Waktu itu Relatif.
Kecepatan bergerak suatu benda yang paling cepat yang ada di muka bumi ini adalah Cahaya. Tidak ada yang lebih cepat daripada Cahaya.

Kecepatan Cahaya adalah 300.000 km/detik. Sehingga jika ada sebuah benda yang bergerak lebih cepat dari pada Cahaya maka benda itu seolah-olah menghilang, seolah-olah tak pernah mewujud di muka Bumi, tapi ada.

Berdasarkan Rumus Albert Einstein tentang hubungan antara waktu, materi, dan kecepatan, maka dimisalkan jika ada seorang Astronot dalam sebuah Roket meluncur dengan kecepatan mendekati Cahaya.
Misalnya, dalam kasus ini anggap 0,8C, dimana C = 300.000 km/detik. Sehingga kecepatan Roket tersebut adalah 0,8 x 300.000 km/detik = 240.000 km/detik.
Setelah 30 tahun waktu berlalu di dalam roket, ternyata sama dengan 50 tahun selang waktu di Bumi.
Artinya, kalau Astronot itu berusia 30 tahun, lalu berekspedisi ke luar angkasa selama 30 tahun, dan kembali ke bumi lagi, maka sesampainya di Bumi usianya sudah mencapai 80 tahun sebagaimana teman-teman sebayanya telah mencapai usia 80 tahun, namun secara fisik si Astronot tersebut baru berusia 60 tahun.

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa jika ada manusia yang bergerak mendekati kecepatan cahaya maka ia akan awet muda. Jika Astronot itu meluncur bersama roketnya dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan Cahaya, atau melebihi kecepatan Cahaya, maka nilai Waktu di bumi menjadi tak terdefinisi. Artinya nilai Waktu diserahkan penuh kepada Tuhan Sang Penguasa Realitas Mutlak.

[QS. An-Nuur (24): 35]
“Allah membimbing kepada Cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki..”

Cahaya itu sifatnya Absolut, maka Cahaya Sang Pencipta di atas segala Cahaya Yang Maha Absolut, jauh sekali dari sifat relatif. Dan kalaulah kecepatan Cahaya itu mencapai 300.000 km/detik, maka kecepatan Cahaya Allah pastilah tak terbatas.

Lantas, bisakah kita bergerak mendekati kecepatan Cahaya Allah?
Bahwa Cahaya itu Absolut, sedangkan Ruang dan Waktu itu Relatif. Artinya, untuk mendapatkan sesuatu yang Absolut, maka sedapat mungkin kita tidak terjebak dalam Ruang yang bersifat Relatif.

Ada tiga istilah yang berkenaan dengan Cahaya: yaitu Nur, Dhiya’ dan Siraj.
Nur adalah Cahaya secara umum, sedangkan Dhiya’ dan Siraj adalah Cahaya yang lebih khusus.
Dhiya’ dan Siraj adalah sumber cahaya, Sang Pelita. Benda yang ber-Dhiya’ maka pasti ber-Nur, sedangkan benda yang ber-Nur, belum tentu sebagai Dhiya’.

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar (Dhiya’) dan bulan bercahaya (Nur) dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. 10: 5)

“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya (Nur) dan menjadikan matahari sebagai Pelita (Siraj).” (QS. 71:16).

Matahari sebagai sumber cahaya disebut dengan istilah Dhiya’ atau Siraj. Sedangkan Bulan sebagai Pemantul Cahaya matahari disebut sebagai Nur. Namun tetap saja, Dhiya’ dan Nur atau Matahari dan Bulan, keduanya adalah ber-Cahaya. Yang satu sebagai Sumber Cahaya, dan yang kedua sebagai Pemantul Cahaya.

(QS. 17 : 39) Diibaratkan bahwa Allah sebagai Dhiya’, Sumber Cahaya langit dan bumi. Dengan demikian, wajar Rasulullah sering diibaratkan sebagai Bulan, yang memantulkan cahaya dari Allah SWT, itulah Nur Muhammad SAW. Dan sesungguhnya, apapun Kebenaran yang ada di alam semesta ini adalah Nur Allah, yakni hanyalah pantulan Cahaya Sejati dari Dia yang berstatus sebagai Maha Dhiya’ (Maha Sumber Cahaya).

  • Bagikan