Bermasalah Hingga Mengancam Iklim Demokrasi, BEM KM Unmul Desak Pemerintah Dan DPR Terbuka Soal Draf RKUHP

  • Bagikan
Presiden BEM KM Unmul, Ikzan Nopardi (kuning) saat menggelar aksi di depan kantor DPRD Provinsi Kalimantan Timur.

SAMARINDA – Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Mulawarman (BEM KM Unmul) mendesak pemerintah dan DPR untuk terbuka terkait penyusunan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah digodok.

Pasalnya, santer dikabarkan draf RKUHP sarat dengan pasal-pasal yang bermasalah hingga ditengarai menjadi ancaman bagi iklim demokrasi di Indonesia. Tentunya, kondisi ini sama dengan tahun 2019 lalu yang mana RKUHP ditunda pengesahannya akibat protes besar-besaran hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Meski terus didesak untuk segera mempublikasikan draf yang tengah dibahas di Komisi III DPR RI, namun baik pemerintah dan DPR tak bergeming. Kecurigaan pun muncul setelah beredarnya naskah yang diduga bocoran dari draf RKUHP.

“Hal ini pun mengindikasikan bahwa pemerintah dan DPR RI mengulang kesalahan kembali dengan tidak menjunjung tinggi transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan,” ungkap Presiden BEM KM Unmul Ikzan Nopardi, Kamis (23/06/3022).

BEM KM Unmul mengingatkan pemerintah dengan proses penundaan pengesahan RKUHP di bulan September 2019 lalu. Sebanyak 24 isu krusial dan kontroversi dinilai mengancam demokrasi dan dianggap sangat bermasalah. Terkait hal tersebut ada beberapa pasal substansi yang menjadi problematika diantaranya adalah penyerangan harkat dan martabat presiden, Hate speech, Living law, pidana mati.

Menurut Ikzan, jika menelaah kembali dalam pasal-pasal tersebut, pada pasal 218 dan 220 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden yang salah satu pasal berbunyi ‘Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan.‘ (Pasal 218 ayat 1).

“Pasal ini mengisyarakatkan kedudukan hukum yang berbeda antara Presiden/Wakil presiden dengan warga lainnya. Hal ini justru tidak sejalan dengan iklim demokrasi dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh konstitusi Indonesia, selain itu pasal penghinaan presiden dan wakil presiden juga akan menimbulkan konflik kepentingan,” jelasnya.

Selanjutnya, kata Ikzan, pasal 354 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga Negara melalui sosial media atau teknologi informasi lainnya.

“Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha mematikan kebebasan berpendapat yang seharusnya sudah menjadi hak setiap warga negara untuk mengkritik dan menjadi kontrol setiap lembaga negara yang melakukan tindakan sewenang-wenang,” terang mahasiswa SI Psikologi Fisip Universitas Mulawarman ini.

Sorotan terkait pasal yang merusak iklim demokrasi juga ada di pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKHUP. Pasal 273 memuat ancaman pidana penjara bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum.

Menurutnya, pasal ini lagi-lagi mengisyaratkan bahwa ada upaya mengekang kebebasan berekspresi yang sebelumnya hanya sanksi administratif yaitu pembubaran menjadi sanksi pidana. Tentu sangat bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

“padahal RKUHP akan menjadi dasar hukum pidana di Indonesia yang akan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat luas. Sehingga, setiap kebijakan harus didasari oleh kepentingan rakyat dengan prosedur sesuai konstitusi yang ada serta mengutamakan transparansi dan partisipasi publik,” tegasnya.

Dari pandangan-pandangan tersebut, BEM KM Unmul menilai bahwa RKUHP tengah dirancang saat ini masih memiliki probematika, sehingga perlu di tinjau ulang kembali.

“kami mendesak Presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna,” ucap Ikzan.

Selain itu, BEM KM Unmul juga menuntut Presiden dan DPR RI untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga Negara.

“Apabila Presiden dan DPR RI tidak kunjung membuka draf terbaru RKUHP dan membahas pasal-pasal yang bermasalah, maka kami akan melakukan aksi turun ke jalan dan menimbulkan gelombang penolakan yang lebih besar di Kalimantan Timur,” tegasnya Ikzan di akhir.(*)

  • Bagikan