TRANSFORMASI AL JAM’IYATUL WASHLIYAH

  • Bagikan
KH. Dr. Masyhuril Khamis- Sekjen PB Al Washliyah

Oleh : KH.Dr. Masyhuril Khamis & H.J.Faisal

SEJARAH SINGKAT AL WASHLIYAH

Pada tahun 1930-an, para pemuda pendiri organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, mungkin tidak akan pernah menyangka bahwa organisasi yang mereka dirikan pada saat itu bisa berkembang menjadi sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang sangat besar seperti sekarang.

Para pemuda seperti Abdurrahman Syihab , Ismail Banda, Yusuf Ahmad Lubis, Adnan Nur, Abdul Wahab, dan M. Isa yang tergabung sebagai santri atau pelajar di dalam Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan, pada awalnya memang mempunyai ‘keresahan’ yang sama atas permasalahan yang sedang terjadi di antara umat Islam pada saat itu, yaitu timbulnya berbagai macam perpecahan yang dilandasi atas perbedaan pendapat dan mahzab di kalangan umat Islam itu sendiri. Hal itu juga diperparah oleh politik adu domba Belanda yang pada saat itu masih menjajah Indonesia, sehingga perpecahan sangat mudah terjadi di kalangan umat.

Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan adalah sebuah sekolah dimana para pemuda tersebut menimba ilmu. Dari sinilah otoritas mereka sebagai pemuda terpelajar dapat berkembang dengan mengamalkan keilmuan keislaman yang mereka dapatkan. Dan dari tempat menimba ilmu ini juga merupakan awal starting point mereka dalam menyatukan umat Islam, khususnya di Medan dan Sumatera Utara, bisa terlaksana dan terwujud.

Cita-cita yang teramat mulia dan teramat cerdas pada saat itu, sekaligus juga teramat berat. Tetapi pada akhirnya para santri muda tersebut tetap berhasil mewujudkan sebuah organisasi yang mampu merekatkan hubungan antara golongan tua dan golongan muda, dan berbagai golongan yang berselisih paham tentang fikih Islam di kota Medan khususnya, dan di Sumatera Utara pada umumnya. Maka berdirilah sebuah organisasi dengan nama Al Jam’iyatul Washliyah, yang berarti perkumpulan yang merekatkan.

SATU ABAD AL JAM’IYATUL WASHLIYAH

Pada awalnya, Al Washliyah merupakan Organisasi Masyarakat Islam (Ormas Islam) yang didirikan pada tanggal 30 November 1930 di Kota Medan Sumatra Utara. Pertama sekali ormas Islam yang berdiri di Pulau Sumatra dan didirikan oleh para pendirinya yang bersuku bangsa Melayu (Batak Mandailing, Melayu Deli, Aceh).

Saat ini, sejalan dengan perkembangannya, ormas Islam ini memiliki 1036 lembaga pendidikan, 14 Panti Yatim Piatu dan 9 universitas di seluruh Indonesia. Di antara pusat sebaran anggota kepengurusan terbesar berada di daerah Sumatra Bagian Utara (Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Aceh), Provinsi Riau dan Provinsi Jawa Barat dan lain-lain. Diperkirakan Washliyin mencapai 15 juta jiwa yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Ormas Islam bermazhab Syafii ini masih memegang teguh ke Syafiiannya pada kaitan penerapan dan kajian hukum Islam.

Kini, di usianya yang telah menginjak 90 tahun, Al Washliyah tetap terus memperbaiki diri dan tetap terus memantapkan langkahnya dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan di negara ini. Kiprah organisasinya tidak saja bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat di pulau Sumatera saja, tetapi juga di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Bahkan selama ini, Al Washliyah juga telah melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh agama berskala nasional dan internasional. Sebut saja KH. Ridwan Lubis, Prof. Dr. KH. Muslim Nasution, H. Husein Umar, Dr. Daud Rasyid, dan ulama muda berskala Internasional yang sedang kondang saat ini, yaitu Ustd. Dr. Abdul Somad (UAS). Semuanya adalah ulama-ulama dan tokoh-tokoh yang sangat disegani dan disayangi oleh umat Islam Indonesia.

Menjelang satu abad usianya, gerakan nyata Al Washliyah di bidang Pendidikan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan memang telah memberikan kontribusi yang sangat besar dan nyata bagi kehidupan masyarakat secara langsung.

Terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan dasar sampai menengah, universitas, lembaga-lembaga dakwah, dan lembaga ekonomi yang telah didirikan oleh Al Washliyah, yang dapat dimanfaatkan langsung keberadaannya oleh masyarakat dalam meningkatkan kualitas ubudiyah dan kualitas hidup mereka.

Contohnya adalah banyaknya anak-anak kaum dhuafa yang kurang beruntung secara ekonomi tetapi tetap dapat melanjutkan sekolah secara gratis di Lembaga Pendidikan di bawah naungan Al Washliyah. Selain itu juga, banyak berdiri panti-panti asuhan yang mengurusi keberadaan anak-anak yatim dan piatu.

KEMBALI KEPADA KHITTAH

Karena dilahirkan dari sebuah perkumpulan pemuda yang sangat cinta kepada agamanya, dan juga sangat menghargai keilmuan, maka kini sudah saatnya bagi Al Washliyah untuk kembali kepada khittahnya dalam menyongsong satu abad usianya.

Di satu sisi, Al Washliyah telah berhasil mencapai salahsatu tujuan atau khittah awal pendiriannya, yaitu merekatkan seluruh umat Islam yang berbeda pandangan dalam fikih, memyatukan seluruh kekuatan umat Islam Indonesia meskipun berbeda naungan organisasinya, serta mendidik umat untuk menjalankan syariat Islam sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan As sunnah Rasulullah Salallahu alaihi wassalam.

Tetapi di sisi lain, Al Washliyah juga sebenarnya masih menyimpan sebuah ‘pekerjaan rumah’ yang tidak kalah pentingnya, yaitu mendidik umat untuk lebih beradab dan berahlak, lebih berilmu, dan lebih beramal. Inilah tantangan Al Washliyah kedepannya.

Banyaknya Lembaga Pendidikan yang telah dimiliki oleh Al Washliyah sebenarnya adalah sebuah modal yang besar dan mumpuni untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang beradab, berilmu, dan beramal. Dan selama ini, memang masih dirasakan sangat kurang ‘gaung’nya di tengah masyarakat.

Al Washliyah harus mampu untuk mencetak para pendidik yang mumpuni. Setelah itu barulah akan tercipta murid-murid yang mumpuni pula. Dari sekian banyak Lembaga Pendidikan Islam yang dimiliki oleh Al Washliyah, maka Al Washliyah harus mampu mencetak para dai atau para pendakwah yang mampu membawa umat kepada jalan yang Allah Subhannahu wata’alla ridhoi.

Inilah modal utama yang sebenarnya agar Al Washliyah dapat lebih berkiprah dalam memperbaiki adab dan ahlak bangsa yang selama ini terus mengalami degradasi secara gradual. Karena tidak ada jalan lain bagi umat untuk memperbaiki adab dan ahlak, selain dengan jalan Pendidikan dan keilmuan.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi saat ini, khususnya teknologi informasi juga membawa dampak buruk bagi penurunan ahlak anak bangsa, meskipun tentu saja banyak juga sisi positifnya yang bisa kita dapatkan.

Dampak negatif dari pengaruh tontonan di media sosial juga telah banyak menggeser nilai-nilai kearifan yang seharusnya dipahami dan dilakukan oleh umat. Tetapi kini, justru nilai-nilai rendah syaitoniah dan hewaniah yang banyak dipertontonkan dan ditiru oleh umat Islam. Naudzubillah.

Di sinilah tugas berat yang harus diemban oleh para pendakwah atau dai-dai yang dimiliki oleh Al Washliyah, yaitu untuk kembali membawa umat untuk lebih mencintai ilmu, lebih memperbaiki adab dan ahlakj umat Islam Indonesia.

Selain itu, tugas berat Al Washliyah juga adalah harus mampu untuk menyebarkan nilai-nilai keIslaman ke seluruh pelosok nusantara, agar masyarakat Indonesia bisa merasakan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam bukanlah agama yang selama ini difitnah dengan kata-kata radikal atau dekat dengan kekerasan.

Setelah jalan dakwah, keilmuan dan Pendidikan telah dilakukan, maka ‘pekerjaan rumah’ selanjutnya adalah, Al Washliyah harus mampu untuk menciptakan sebuah system ekonomi mikro yang kreatif guna mengangkat derajat kehidupan para anggota atau jamaah Al Washliyah khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kemampuan Al Washliyah dalam memahami keislaman juga harus mampu diinterpretasikan kedalam kemampuan dalam menaikkan taraf ekonomi kehidupan para washliyin.

Semoga muktamar Al Washliyah yang ke XXII pada tanggal 19 s.d. 21 Maret 2021 nanti dapat berjalan dengan sukses dan dapat memberikan banyak solusi atas segala macam permasalahan bangsa yang sedang terjadi dan dapat menambah kecintaan umat terhadap Islam. Selamat bermuktamar Al Washliyah…

Wallahu’alam bissowab
Jakarta, 14 Maret 2021

KH. Dr. Masyhuril Khamis, Sekjen PB Al Washliyah.

H. J.Faisal, mahasiswa doktoral Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor.

  • Bagikan