Merangkai 23 Tahun Reformasi, Aliansi Mahasiswa Bontang Gelar Diskusi Tragedi Trisakti 1998

  • Bagikan
Diskusi yang digelar Aliansi Mahasiswa Bontang, memperingati Tragedi Trisakti 1998 silam

BONTANG – Tragedi Trisakti merupakan satu dari rentetan peristiwa berdarah jelang kejatuhan pemerintahan Soeharto.

Dalam peristiwa tersebut, empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur ditembus peluru tajam aparat saat menggelar aksi unjuk rasa, 12 Mei 1998.

Upaya merawat ingatan perihal peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang tak kunjung tuntas pun terus dilakukan, tak terkecuali di Kota Bontang.

Demikian yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Bontang yang menggelar diskusi bertajuk ‘Peringatan Tragedi Trisakti’, Minggu (16/05/2021).

Lilik Rukitasari berlatar belakang Akademisi asal Universitas Trunajaya Bontang, kemudian Asbar, Alumni GMNI dan Mantan Presiden BEM Trunajaya, Sadli Jaya menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.

Diskusi yang digelar Aliansi Mahasiswa Bontang, memperingati Tragedi Trisakti 1998 silam

Lilik Rukitasari memaparkan bahwa kesulitan saat ini dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap peristiwa masa lalu tidak terlepas dari proses politik yang terjadi di Indonesia.

“Ada posisi politik yang membentengi pemerintahan dalam penuntasan kasus tersebut,” tegas Akademisi yang juga mengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini.

Dirinya juga menyentil proses politik transaksional yang terjadi pasca reformasi. Besaran biaya politik menurutnya memperkecil harapan terwujudnya cita-cita reformasi.

“Bagaimana mungkin kita berharap kebijakan politik kita baik kalau dari awal prosesnya saja tidak baik. Ongkos politik yang mahal selanjutnya dibayar dengan kebijakan setelah terpilih,” sambungnya.

Mantan Komisioner KPID Kaltim ini berharap baik mahasiswa hingga pemerintah mesti belajar dari peristiwa sejarah masa lalu, tanpa melepaskan tanggung jawab dalam hal penuntasan kasus.

Asbar, pembicara kedua selanjutnya memaparkan terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak kunjung terselesaikan meski dorongan penuntasan terus dilakukan.

Menurutnya, penuntasan kasus Pelanggaran HAM sangat dibutuhkan. Selain memberikan keadilan bagi korban, juga menjadi peringatan bagi negara agar tidak mengulangi kejadian yang sama.

“Negara memiliki utang terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM, tidak hanya tragedi 98, tetapi semua tragedi berdarah yang ada di Indonesia,” kata Mantan Koordinatir Komite Aksi Kamisan Kaltim ini.

Dilanjutkannya bahwa keseriusan negara hingga saat ini belum terlihat. Bahkan setelah 23 tahun reformasi bergulir. Adapun pembahasan soal HAM oleh elit politik cenderung hanya menjadi jualan politik dalam setiap pemilu.

“Maka wajar saja, aparatur negara masih represif. Korbannya, tidak hanya kepada peserta demonstrasi, yang ditembak mati atau dipenjarakan. Jurnalis mendapat represif pun saat bertugas juga masih sering terjadi,” ungkapnya.

Selanjutnya, pembicara ketiga, Sadli Jaya mengatakan bahwa sejarah yang sampai saat ini belum tuntas di selesaikan oleh negara.

Hal yang sama juga bagi gerakan mahasiswa dalam memaknai peringatan Tragedi Trisakti dan sejarah perlawanan lainnya.

“Jangan sampai hanya sebatas peringatan saja, tanpa kemudian menghasilkan hal yang kongkrit,” tegasnya.

Dirinya juga menyampaikan kritiknya terhadap UU ITE yang menurutnya mengekang kebebasan berpendapat.

“Akhirnya membuat mahasiswa yang hari ini takut untuk melawan ketidakadilan negara,” kata Mantan Ketua HMI Komisariat Bontang ini .

Menurutnya, saat ini dengan kemajuan teknologi, mahasiswa harus menjadi agen intelektual. Dengan membangun narasi tandingan soal kebijakan yang hari ini yang sangat merugikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

“Jangan kegiatannya hanya aksi sosial saja. Bukan tidak boleh, tetapi semua ada pembagian porsinya. Mahasiswa harus menunjukkan diri mereka sebagai agen of change,” pungkasnya.


Penulis : Muhammad Faridzul Rifqi

  • Bagikan