Mengenang Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (MALARI), Melawan Potret Buram Investasi Dan Catatan Krisis Agraria di Indonesia

  • Bagikan

Penulis : Muhammad Faridzul R


Hari ini 47 tahun yang lalu, tepatnya pada 15 Januari 1974, Peristiwa kerusuhan melanda kota Jakarta. Dari aksi mahasiswa memblokade jalan raya, hingga pembakaran di beberapa pusat pertokoan di ibukota.

Bukan tanpa sebab, kala itu unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa di masa-masa awal pemerintahan Presiden Soeharto guna mengkritik kebijakan Soeharto yang terlalu membuka pintu terhadap investasi. Dan pada hari itu, 15 Januari 1974 bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka.

Aksi mahasiswa yang semula berupa unjuk rasa, berubah menjadi huru-hara. Beberapa catatan sejarah menyebutkan, ada “operasi senyap” dari tentara, menyusup dan merubah demonstrasi menjadi teror.

Sementara itu dibeberapa catatan lainnya menuliskan bahwa aksi tersebut ditunggangi oleh tentara, tentara dalam kelompok tertentu.

Meski demikian tetaplah Peristiwa Malari menjadi salah satu catatan dalam sejarah gerakan mahasiswa. Dan sejenak kita simpan catatan-catatan mengenai apa yang terjadi saat itu.

Mari kita menarik satu benang merah dari peristiwa tersebut yang berdampak hingga saat ini.

Investasi, Eksploitasi berkedok Investasi !

Sedari awal Soeharto memerintah, bisa dikatakan kekuasaannya secara perlahan melucuti bangsa ini. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang sejatinya dilahirkan untuk menjaga kedaulatan sekaligus menjamin hak-hak rakyat dalam penguasaan sumber daya alam, menjadi tidak berarti sesaat setelah Presiden Soeharto naik tahta.

Undang – Undang Pemananaman Modal asing (UU PMA) No1 tahun 1967 menjadi karya perdana presiden yang oleh pendukungnya digelari Bapak Pembangunan.

Sejak UU PMA disahkan, saat itulah awal mula masuknya eksploitasi berkedok investasi, terkhusus untuk freeport yang ada di Papua. Merupakan karya perdananya menjabat sebagai Presiden, tepatnya hanya tiga pekan sejak jadi Presiden. Tanpa ragu-ragu, Soeharto meneken kontrak karya pertama untuk Freeport dengan berlaku kontrak disepakati selama 30 tahun.

Semestinya kontrak karya ini berakhir pada 1997. Tetapi, setelah tambang Erstberg, Freeport menemukan Grasberg yang ternyata berpotensi menjadi tambang emas terbesar di dunia. Freeport McMoran, kemudian kembali mendekati Presiden Soeharto dan meminta agar disepakati kontrak karya kedua antara RI dan Freeport.

Sejumlah kritik saat itu, namun dianggap belum ada bentuk “perlawanan” berarti terhadap rezim.

Indonesia Hari Ini

Laporan Konflik Agraria Tahun 2020 yang dirilis oleh KPA memperlihatkan anomali wajah konflik agraria di tengah perekonomian yang mengalami minus pertumbuhan.

Biasanya, di tengah perekonomian yang mengalami resesi, konflik agraria layaknya juga mengalami trend menurun. Sebab rencana investasi dan ekspansi bisnis berskala besar yang bersifat ‘lapar tanah’ menahan diri, melakukan efisiensi bisnis, modal berkurang signifikan, atau bahkan mengalami kolaps.

Sebaliknya 2020, di tengah minusnya perekonomian nasional dan ditambah munculnya pandemi tidak membuat Indonesia berfokus dalam tahap pencarian jalan keluar untuk menekan tingginya angka masyarakat yang terinfeksi virus, justru perampasan tanah berskala besar tidak menurun, tetap tinggi, cara-caranya makin tak terkendali.

Situasi di atas menjadi tak terkontrol di tengah resesi ekonomi yang melanda hampir sepanjang tahun. Sebagai perbandingan, pada periode April-September tahun 2019 perekonomian kita mencatat pertumbuhan sebesar 5,01 persen, dan letusan konflik agraria pada periode tersebut tercatat sebanyak 133 letusan konflik. Sementara pada periode yang sama pada 2020, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai minus 4,4%, ternyata letusan konflik agraria tercatat sebanyak 138.

Ternyata, meskipun krisis dan PSBB berlangsung, investasi dan kegiatan bisnis berbasis agraria tetap bekerja secara masif dan represif.

Sepanjang 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.

Konflik agraria di sektor perkebunan tercatat naik sebanyak 28 %, dari 87 letusan konflik pada tahun 2019 menjadi 122 kasus pada 2020. Sedangkan, sektor kehutanan mencatat kenaikan hingga 100 %, dari 20 letusan konflik pada 2019 menjadi 41 kasus pada 2020. Secara angka total, konflik agraria dapat disebut menurun.

Namun, penurunan tersebut tidak siginfikan hanya 14%, tidak sebanding dengan minusnya pertumbuhan ekonomi yang penurunannya mencapai 200%.

Dari keseluruhan konflik (241), sebanyak 69%-nya terjadi di dua sektor klasik, yaitu perkebunan dan kehutanan. Di Sektor Perkebunan, berdasarkan pemilikan badan usaha, konflik akibat Perkebunan BUMN sebanyak 12 kasus dan perkebunan swasta sebanyak 106 kasus.

Jika berdasarkan komoditasnya, perkebunan sawit sebanyak 101 letusan. Selanjutnya diikuti perusahaan perkebunan komoditas tebu, karet, teh, kopi, dan lainnya.

Di sektor kehutanan, letusan konflik agraria sepanjang tahun 2020, terjadi akibat aktivitas perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 34 letusan konflik, hutan lindung 6 konflik, dan perusahaan HPH sebanyak 1 konflik.

Sementara itu, terjadi 30 letusan konflik agraria akibat proyek pembangunan infrastruktur di tahun 2020. Konflik akibat pembangunan infrastruktur tahun ini didominasi oleh beragam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), yakni sebanyak 17 letusan konflik. Mulai dari pembangunan jalan tol, bandara, kilang minyak, pelabuhan, hingga akibat pembangunan infrasturktur pendukung pariwisata premium seperti Danau Toba, Labuan Bajo dan Mandalika. Sisanya akibat pembangunan stasiun, bendungan dan gelanggang olah raga (GOR).

Letusan-letusan konflik agraria di atas, tidak jarang diikuti tindakan kekerasan dan kriminalisasi di lapangan. Sepanjang Januari s/d Desember tahun ini, KPA mencatat setidaknya telah terjadi 134 kasus kriminalisasi (132 korban laki-laki dan 2 perempuan), 19 kali kasus penganiayaan (15 laki-laki dan 4 perempuan), dan 11 orang tewas di wilayah konflik agraria.  Sementara itu, konflik agraria yang berkaitan dengan fasilitas milter akibat atau klaim aset TNI (9), pusat latihan tempur (1) dan Lanud (1). Di sektor pesisir kelautan yaitu tambak (1), reklamasi (1) dan pulau kecil (1). Terakhir, di sektor agribisnis diakibatkan oleh pembangunan food estate dan peternakan masing-masing 1 (satu) kasus.

Jika diakumulasi, sejak tahun 2015 hingga 2020 maka total letusan konflik agraria yang bersifat struktural sebanyak 2.288 kasus. Bagi rakyat, 2020 adalah tahun Perampasan Tanah Berskala Besar. Perampasan tanah berskala besar sepanjang tahun 2020 ini telah membuat petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak-anak di desa dan kota hidup dalam situasi yang semakin buruk.

Dampak buruknya, eksploitasi berkedok investasi memunculkan konflik agraria struktural.

Situasi ini melahirkan krisis berlapis yang dirasakan petani, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin di desa dan kota, yang berada di wilayah-wilayah konflik tersebut.

Masyarakat setempat yang menjadi korban konflik agraria dan kekerasan tidak hanya terancam krisis kesehatan, ekonomi dan pangan akibat pandemi Covid-19, namun juga harus berjibaku mempertahankan kampung dan sumber kehidupannya bahkan harus bertaruh nyawa untuk mempertahankan haknya atas tanah.

  • Bagikan