Menangkap Pesan Sosial Pada Puasa

  • Bagikan

Oleh : ASWAN NASUTION


PERNAH terpikirkah oleh kita bahwa sebenarnya dalam banyak ibadah yang sifatnya hampir personal Allah selalu tak lupa menitipkan pesan sosial ?

Demikian sejatinya yang dituntunkan Allah kepada para hamba-Nya. Semua ibadah mahdah seperti shalat, zakat, haji, dan tentu juga puasa di bulan Ramadhan, punya pesan sosial teramat dalam.

Di satu sisi, Ramadhan adalah masa jeda bagi perawatan tubuh kita setelah sebelas bulan mendapatkan tugas operasional amat tinggi. Di sisi lain, puasa sesungguhnya adalah satu mizan untuk mengukur kepedulian sosial kita.

Mizan alias timbangan ini bisa digunakan untuk mengukur seberapa besar bentuk keterpanggilan kita begitu menyaksikan ketimpangan hidup.

Kalau dengan puasa, perasaan kita tetap tumpul, maka kita merugi. Kalau dengan puasa, kemauan untuk berbagi tidak tampak, maka kita tidak beruntung.

Kalau dengan puasa kita tak juga mampu menjaga tajamnya ujung lidah kita maka kita benar-benar termasuk golongan yang merugi.

Kalau dengan puasa kita masih kesulitan mendahulukan kehendak Allah sebelum kehendak kita sendiri, maka kita benar-benar tak mampu menangkap pesan puasa yang sejatinya.

Ramadhan mengajarkan soal pentingnya saling memberi dan saling mengasihi. Janganlah merasa aman dari tatapan tajam para penghuni langit.

Kalau kita dengan sengaja membiarkan tetangga kita kelaparan. Sejatinya kita bukan termasuk orang yang beriman bila hal demikian sampai terjadi.

Keimanan menemukan muaranya ketika ia berbuah secara sosial. Teramat sulit untuk mengukur keimanan seseorang kalau keterlibatannya dalam masyarakat, ternyata minus.

Jangan pernah menyangka keimanan seseorang cuma dapat dibuktikan dengan shalat, puasa, zakat, dan haji, itu adalah suatu pandangan dan pemahaman yang keliru.

Bolehlah kita bersujud dan beritikaf di sudut-sudut masjid dalam keadaan berpuasa. Tapi, ingatlah, kalau pada saat bersamaan kita membiarkan seseorang berdiri mematung di depan pintu rumah.

Dengan membiarkan tetangga kelaparan, tidak menebarkan rasa kasih kepada sesama, maka sedikit demi sedikit konstruksi keimanan kita telah berguguran bersama lapar, dingin, serta kepapaan para yang membutuhkan.

Seringkali bila menyeru kalangan yang beriman, Allah tak lupa menyertakan di belakangnya penyifatan “dan beramal saleh”. Misalnya, Ya ayyuhal ladzina aamanuu wa ‘amilush shaalihat (Hai orang-orang beriman dan beramal saleh).

Karena kita beriman, makan kita diwajibkan puasa. Karena kita puasa, maka kita harus beramal shaleh kepada masyarakat yang sangat perlu dibantu.
Wallahu a’lam bish shawab.


Penulis Adalah Aktivis Al Jam’iyatul Washliyah Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

  • Bagikan