Krisis Afganistan dan Perspektif Kepentingan Nasional RI

  • Bagikan

JAKARTA – Kemelut di Afganistan yang mana kelompok Taliban mengambil alih kekuasaan di Kabul dan membuat Presiden Asraf Gani minggat keluar negeri.

Banyak pihak dari berbagai negara kawasan termasuk di Indonesia masih ‘mencurigai’ political will Taliban adakah kesungguhan hendak menciptakan perdamaian dan harmoni di Afganistan serta kawasan Timur Tengah dan dunia Islam? Serta bagaimana pandangan tokoh-tokoh kebangsaan di Indonesia melihat krisis politik di Afganistan, dari sisi kepentingan nasional RI?

Topik di atas ditanggapi beragam, namun terdapat beberapa poin kesimpulan dan rekomendasi dari webinar yang diselenggarakan Badan Mahasiswa Universitas NU Indonesia bekerjasama dengan Fokus Wacana UI dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

Webinar tersebut dibuka oleh Dekan UNUSIA Dr. Ahmad Suaedy dan Pengantar Diskusi oleh Bob Randilawe (co-founder Fokus Wacana UI).

Serial Webinar kali ini menghadirkan narasumber di antaranya Dr. Suaib Thair dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Rikard Bagun (Dewan Pengarah BPIP ~ Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Dhia Prekasha Yoedha (Jurnalis Senior, Pendiri AJI), Dr. Satrio Arismunandar (Tokoh Mahasiswa UI), dan Dr. Hadijoyo Nitimihardjo (Tokoh Nasionalis Indonesia).

Dalam pengantarnya, Bob Randilawe menegaskan bahwa memandang krisis Afganisntan tidak bisa hanya dari sisi agama, tapi juga dari perspektif kebangsaan dan hak kesejarahan suatu masyarakat untuk mendirikan negara merdeka dan berdaulat. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia wajib menjaga perdamaian dunia yang abadi dan sentausa.

Wartawan senior DP Yoedha turut menambahkan, bahwa pembukaan UUD 1945 juga menekankan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” dan segala bentuk penindasan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka Bumi.

Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini mensitir ucapan Sukarno bahwa kita tidak boleh ‘komunisto phobia’ dan ‘islamophobia’ karena akan mengunci katup-katup dialog antar Negara berdaulat.

Dr. Hadijoyo, salah seorang pembahas mengingatkan bahwa dunia Islam dan banyak negara berkembang di dunia merdeka dari hasil “Dasa Sila Bandung” tahun 1955 yang diprakarsai Bung Karno. Hampir 40-an Negara berhasil merdeka setelah pertemuan Dasa Sila Bandung yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok.

Pendapat yang sama juga disampaikan Dr. Suaeb dari BNPT bahwa masalah Afgansistan jangan semata dilihat dari masalah agama tetapi yang lebih penting adalah permasalahan kebangsaan mereka, walau secara kebetulan Indonesia dan Afganistan sama-sama perpenduduk mayoritas Islam.

Menurutnya, kita punya pengalaman sejarah tentang ‘perselisihan 7 kata dalam dasar Negara’ namun berhasil melahirkan konklusi yang cemerlang dan fenomenal dari para pendiri bangsa baik dari golongan Kebangsaan maupun Golongan Islam dengan beberapa ‘kompromi luhur’.

Kebesaran jiwa dan kejujuran untuk berbakti tanpa pamrih demi kejayaan bangsa dari para pendiri bangsa kita adalah pelajaran sangat penting bila bangsa lain semisal Afganistan mau belajar dari pengalaman Indonesia. Sudah banyak konflik kawasan Asia yang didamaikan oleh bantuan diplomatik Indonesia dan mendapat pengakuan internasional.

Menjadi kekuatiran sebagian orang, bahwa Taliban memiliki sejarah pernah terlibat dalam aksi terorisme dan radikalisme agama. Sebagaimana dikatakan Satrio Arismunandar bahwa rejim Taliban jangan pernah lagi memelihara anasir-anasir yang pro kekerasan, terorisme, dan penganjur radikalisme agama. Itu yang harus kita tolak, karena bertentangan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Pantang bangsa kita bekerjasama dengan Negara manapun yang mentolerir aksi-aksi terorisme dan radikalisme agama.

Rikard Bagun dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bahwa bangsa kita selama masa-masa sebelumnya damai-damai saja dalam kehidupan keagamaan, rukun secara budaya dan hidup berdampingan secara damai di Indonesia, sampai datang gerakan trans-nasional yang menganjurkan kekerasan dan radikalisme.

Kemenangan Taliban di Afgan tentu saja akan berpengaruh, tapi hanya sebagian kecil orang saja. Karena “solidaritas warga dunia yang cinta damai dan kerjasama saling menguntungkan antar Negara akan menolak jika Taliban mencoba untuk merusaknya.

Seorang penanggap, Amsar Dulmana, Dosen UNUSIA melihat aspek geo-politik dari krisis Afganistan, sejauhmanakah ‘setting global’ negara-negara super power terhadap krisis Afganistan dimana 3 negara raksasa seperti AS, Rusia, dan China selama ini telah ‘campur tangan’.

Telah terjadi pergeseran peta kepentingan diantara ketiga Negara tersebut. Setting global tersebut perlu juga menjadi perhatian pemerintah Indonesia, dan publik di Indonesia tahu bahwa beberapa ‘elit politik’ Indonesia memiliki kedekatan dengan Taliban. Semoga Taliban dapat menimba pengalaman sejarah Indonesia dengan kapasitas modal social yang kita miliki untuk membangun Negara-bangsanya. Bukan sebaliknya, dimana sebagian orang justru ‘mengambil pengalaman Taliban’ untuk diterapkan di Indonesia. Itu yang harus dihindari.

Menurut Rikard Bagun, bangsa kita harus melakukan konsolidasi ke dalam. Dengan kompaknya dua elemen Islam di Indonesia (NU dan Muhammadyah) serta elemen-elemen kebangsaan lainnya maka sulit bagi kekuatan-kekuatan trans-nasional dan radikalisme agama untuk menggoyahkan persatuan kita.

Optimisme dan rasa percaya diri sebagai bangsa ‘pelopor’ wajib ditanamkan di Indonesia terutama di kalangan generasi penerus dan elit politik.

Acara ditutup oleh Dekan UNUSIA, Dr. Suaedy dengan harapan diskusi webinar ini memberikan pencerahan kebangsaan bahwa krisis Afganistan harus dilihat dari kepentingan bangsa kita. Jangan sampai perhatian kita teralihkan mengingat bergesernya titik tengkar baru antara Rusia, AS, dan China.

Bagaimana pun masalah Laut Natuna Utara (dulu, Laut Cina Selatan) yang dekat dengan Indonesia luput dari perhatian.(*)

Penulis: Redaksi
  • Bagikan