Jeda Kemanusiaan Kebutuhan Mendesak di Papua

  • Bagikan
Frans Maniagasi - Pengamat Politik Lokal Papua

KONFLIK Papua yang telah berlangsung selama 58 tahun (1963) sejak wilayah itu menyatu dengan NKRI belum ada indikasi menuju penyelesaiannya. Apalagi perkembangan aktual kejadian akhir-akhir ini di wilayah Pegunungan Tengah (Puncak, Nduga, Intan Jaya) mengisyaratkan kini saatnya dibutuhkan jeda kemanusiaan.

Jeda kemanusiaan mesti dilihat sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik Papua. Pemerintah pusat mesti membuka diri, demokratis, dan dengan bermartabat perlu mengupayakan formulasi penyelesaian masalah karena kita mesti realistis bahwa gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan sayap-sayap perjuangan, termasuk diplomasi luar negeri mereka, merupakan fakta politik yang tak dapat diabaikan.

Sesuai dengan Pasal 45 dan 46 (UU No 21/2001) sebuah special agreement merupakan garansi untuk menyelesaikan masalah Papua. Pemerintah kita mesti berpijak pada nilai nilai Pancasila–musyawarah untuk mufakat–mencapai solusi penyelesaian masalah. Tanpa itu, ekses dari gerakan Papua merdeka akan terus mengundang kekerasan dan konflik dari waktu ke waktu. Kondisi itu selalu membawa rakyat dari satu ladang pembantaian ke ladang pembantaian lain di setiap periode waktu.

Tak ada cara lain dari pengalaman empiris negara-negara yang terdapat gerakan separatisme bertujuan memisahkan diri. Proses politik, dialog, dan negosiasi merupakan cara paling demokratis dan bermartabat untuk menyelesaikan soal.

Jeda kemanusiaan membutuhkan ‘percakapan bersama’ untuk mengakhiri konflik di Papua. Tentu membutuhkan trust (kepercayaan) duduk bersama sebagai orangtua dan anaknya mencari jalan keluar terbaik dari konflik yang berlarut-larut. Penyelesaian secara dialogis dan menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat–terutama yang sudah ada di Kejaksaan Agung agar diselesaikan. Tujuannya sebagai entry point mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah.

Masalah Papua sepenuhnya diselesaikan dalam negeri. Tidak ada pihak negara asing atau lembaga internasional yang terlibat dalam jeda kemanusiaan sesuai dengan prinsip pemerintah bahwa masalah Papua ialah soal dalam negeri. Terkecuali mereka diundang sebagai observer. Permasalahan Papua tidak diagendakan untuk difasilitasi pihak ketiga. Semua pihak, baik pemerintah pusat maupun masyarakat, mesti memandang jeda kemanusiaan positif merupakan upaya penyelesaian soal.

Perlu saling percaya

Jeda kemanusiaan, selain membutuhkan saling percaya, dialog, dan negosiasi, tidak menyinggung kedaulatan negara. Percakapan bersama akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi penyelesaian masalah Papua. Jadi, pemerintah memberikan pengakuan (recognition) kepada masyarakat Papua melalui otonomi khusus (otsus). Menurut Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), otsus merupakan kompromi bahwa Papua merdeka dalam NKRI.

Hanya saja, dalam perjalanannya selama 20 tahun (2001-2021), pada awalnya maksud baik Presiden Wahid tidak dapat terwujud komitmen politiknya karena keburu dilengserkan lawan-lawan politiknya. Sejak itu, otsus bukan lagi sebagai solusi, melainkan telah bergeser makna menjadi problem.

Oleh karena itu, revisi otsus kali ini yang tengah dilakukan di Pansus DPR RI pun terlalu terburu-buru. Revisi pun menyangkut pasal-pasal teknis seperti Pasal 34 mengakomodasi perubahan persentase dana otsus (2%-2,25%) dan Pasal 76 tentang pemekaran provinsi. Di dalamnya pemerintah pusat berwenang melakukan pemekaran tanpa melalui pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP. Padahal, keduanya dapat diatur melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

Otsus ialah sebuah produk politik yang di dalamnya terdapat upaya bersama, negosiasi, rekonsiliasi antara Pusat dan Papua untuk penyelesaian salah satu masalah bangsa yang belum tuntas. Negara memberikan rekognisi kepada masyarakat Papua. Negosiasi berdasarkan pengakuan itulah yang terabaikan hingga saat ini. Akibatnya konflik dan kekerasan terus berlangsung. Mestinya sejak otsus diterapkan 20 tahun lalu kekerasan dan konflik pun berakhir.

Dialog dan negosiasi antara pemerintah dan rakyat akan sangat menentukan masa depan penyelesaian masalah Papua. Salah satunya mengurangi tindak kekerasan di Papua. Kita mesti menyelesaikan masalah Papua di dalam negeri seperti kasus Moro di Filipina Selatan. Komitmen dan kompromi bersama antara pemerintah dan rakyat Papua ialah konstruksi Papua ke depan melalui revisi otsus.

Revisi otsus bukan saja menyangkut hal-hal teknis, melainkan juga substansi menyelesaikan masalah kemanusiaan dan tidak ada kompromi tentang soal kedaulatan. Kedaulatan negara atas Papua ialah kewenangan pemerintah pusat. Posisi pemerintah satu-satunya pemegang kedaulatan. Namun, pemerintah mesti melakukan dialog dengan orang-orang Papua, memahami apa yang menjadi aspirasi dan kebutuhan mereka.

Jeda kemanusiaan memberikan waktu kepada pemerintah dan rakyat Papua untuk berdialog. Rakyat Papua, terserah siapa yang menjadi perwakilannya, dengan menyiapkan satu proposal yang akan disampaikan kepada pemerintah. Pemerintah juga harus jujur, demokratis, dan bermartabat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat untuk mengembalikan kepercayaan dan ‘keyakinan’ rakyat Papua bahwa pemerintah serius menyelesaikan masalah Papua.

Pemerintah dan rakyat bersama-sama menciptakan ketertiban dan keamanan, termasuk mesti mengambil tindakan tegas menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat di daerah. Terutama 10 kasus korupsi kelas kakap yang telah dirilis KPK dan Menko Polhukam. Dengan demikian, rakyat percaya dan yakin bahwa pemerintah sungguh-sungguh memberantas korupsi di Papua sekaligus pula menimbulkan kepercayaan rakyat untuk memasuki penyelenggaraan otsus periode 20 tahun ke depan. (*)

Artikel ini telah terbit di mediaindonesia.com

  • Bagikan