Depresi Itu Bukan Karena Kurang Iman

  • Bagikan

“Ah, kamu terlalu berlebihan. Kamu belum ikhlas. Mungkin kamu kurang iman dan kurang dekat dengan Tuhan“.

Kira-kira itulah respon (stigma) yang saya dapatkan ketika berbagi cerita mengenai isi kepalaku yang selalu ingat akan kematian. Ntah mengapa, pasca ayahku meninggal saya selalu terpikir akan hal yang sama setiap harinya, yaitu kematian. Awalnya, saya tidak mengetahui kalau saya ’tidak baik-baik saja’. Saya mengira bahwa perasaan ini hanyalah perasaan berduka atas kehilangan (grief). Mengingat saya anak tunggal yang sangat dekat dengan ayah, wajar saja jika saya mengalami kedukaan, begitu ujar kawanku.

Ini adalah kedukaan perdana ku, jadi untuk mengetahui kedukaan ataupun depresi saya pun tidak tau persisnya. Yang jelas, rasa bersalah, ingat mati, panic attack, nangis uring-uringan tiap malam dan kecemasan lainnya hadir di setiap harinya. Saya pun usaha memperbaiki ibadah, mengikuti kajian dan mendiskusikan dengan guru agama, namun hasilnya sama saja. Pikiran kematian tidak kunjung hilang. Sebagai orang yang sangat menggunakan logika, saya mencoba untuk berdialog dengan diri sendiri dan bertanya apakah betul saya kurang iman?

Bertemu Psikolog dan Psikiater

Setelah setahun dan atas dorongan seorang kawan, saya pun akhirnya menemui psikolog. Dari konsultasi tersebut, saya didiagnosa mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres paska trauma. Dalam kasus saya, hal ini ditandai dengan gejala peningkatan kewaspadaan seperti sulit tidur dan merasa gelisah. Untuk mencari second opinion, saya kemudian menemui psikiater. Hasilnya sama, saya mengalami PTSD. Dokter juga menjelaskan saat ini terjadi ketidakseimbangan kimiawi di dalam tubuh dan/otak saya. Selain itu dokter juga menyarankan kepada saya untuk ‘berhenti bertanya kenapa dan merasa bersalah’.

Namun ternyata, menurut buku yang saya baca depresi tidak sesederhana itu. Ada faktor gen, faktor volume hipokampus di otak, faktor pola asuh orang tua, faktor sosial, spiritual, dst.

Untuk kasus saya, anologinya begini: ketika saya ‘kepikiran mati’ kortisol dalam tubuh saya meningkat. Kortisol ini adalah hormon yang aktif ketika seseorang mengalami stress. Karena tidak di kelola dengan baik, stress ini kemudian memberikan banyak efek ke pikiran, perasaan, tubuh dan perilaku saya.

Gejala stress yang menyerang tubuh saya seperti: gejala stress pada perilaku yaitu mudah menangis, dan insomnia. Sementara gejala stress pada tubuh menyebabkan saya sakit kepala/migrain, mudah lelah, sistem imun menurun/mudah sakit, dan asam lambung naik. Inilah yang kemudian dinamakan psikosomatis (psiko: Jiwa, soma: Badan) yang berarti interasi jiwa dan badan.

Selanjutnya, masih dari buku yang saya baca dijelaskan, ketika mengalami depresi volume hipokampus (pusat memori otak) menjadi berkurang. Volume hipokampus memiliki peran penting dalam berkembangnya gangguan mental PTSD seperti yang saya miliki. Selain itu, depresi ini juga menyebabkan aktifitas amigdala: bagian otak yang berfungsi untuk mengendalikan emosi: deteksi bahaya, rasa takut, ekspresi negatif semakin meningkat. Inilah yang kemudian menyebabkan seseorang yang depresi menjadi sangat emosional dan mudah sedih.

Depresi = Kurang Iman?

Lantas apakah benar depresi itu karena kurang iman? Mengacu pada penelitian 10 tahun Columbia University, menemukan bahwa orang yang menganggap agama dan spiritualitas penting bagi kehidupan memiliki tingkat depresi yang lebih rendah. Namun penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa frekuensi ibadah tidak berpengaruh terhadap depresi. Sehingga dalam kasus saya, meskipun saya menjalankan ibadah nyatanya saya tetap bisa terkena depresi. Faktanya depresi bisa menyerang siapa saja, dan tidak pandang bulu.

Lalu harus bagaimana? Untuk kasus saya, pada akhirnya saya memang mengunjungi psikolog, lalu ke psikiatris dan mendapatkan antidepresan. Saya yakin hal ini merupakan yang terbaik, mengingat selama ‘setahun’ saya tidak mengelola stress dengan baik. Dari pengalaman saya, antidepresan diminum sebelum tidur dan membantu saya merasa sedikit lebih tenang. Hanya saja efek sampingnya membuat saya tidur terlalu lelap/terlalu lama.

Mengatur Pola Makan

Kemudian, saya juga mencoba untuk mengatur pola makan. Mengolah pola makan membantu saya untuk mendapatkan bakteri baik (probiotik) yang berperan untuk memasok serotinin (hormon kebahagiaan) dalam tubuh. Sehingga, agar merasa bahagia kita harus memastikan bakteri baik dalam tubuh bekerja dengan optimal untuk memproduksi serotonin. Contoh probiotik yang dapat digunakan seperti: makanan fermentasi seperti: tempe, kimchi, yogurt, bawang merah, asparagus, gandum.

Kenapa penting mengolah pola makan, karena nenurut Emeran Mayer, pencernaan dan otak sangat berhubungan satu sama lain. Keduanya memiliki banyak sekali koneksi saraf di dalamnya. Selain itu mereka juga saling bekerja sama untuk memastikan tubuh kita selalu sehat dan bahagia. Ketika terus mengkonsumsi makanan yang tidak baik bagi tubuh, perut dan otak akan saling mengirimkan sinyal sebagai respon atas zat-zat tersebut. Mekanisme yang sering menjadi respon dalam menghadapi zat-zat asing misalnya inflamasi atau peradangan. So you are what you eat, itu benar banget.

Mengatur Pola Tidur, Melatih Kesadaran dan Berbagi Cerita

Selanjutnya, saya juga mencoba mengevaluasi pola tidur. Sejak 2006 saya sudah insomnia, dan kini semakin diperparah dengan adanya depresi. Padahal tidur yang teratur dan rutin akan membantu tubuh beristirahat dan memperbaiki sel-sel yang rusak. Sebaliknya, jika kualitas tidur buruk akan mengakibatkan rasa lelah yang berkepanjangan (chronic fatigue) dan dapat berujung pada berbagai komplikasi penyakit atau gangguan mental. Bagi orang yang mengalami stress, jika kurangnya waktu tidur di teruskan dapat menyebabkan gejala-gejala fisik seperti gangguan asam lambung dan konstipasi.

Kemudian, coba melatih kesadaran melalui meditasi atau mindfulness. Mindfulness adalah salah satu cara melatih pikiran agar bisa lebih jernih dalam memikirkan, mengevaluasi, dan merasakan pikiran, emosi, serta sensasi tubuh kita. Berlatih kesadaran membantu saya untuk jauh lebih peka terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam diri saya. Selain meditasi, aktifitas lain yang membantu saya untuk mengistirahatkan pikiran seperti, jogging, membuat macramé, atau meracik kopi di kedai miliki saya. Intinya adalah temukan kegiatan yang paling sesuai dengan diri kita.

Terakhir, berdasarkan pengalaman saya, berbagi cerita tentang kesehatan mental (mental Illness) ternyata itu tidak mudah. Tak sedikit kawan saya, yang meskipun ‘berpendidikan’ dapat memberikan respon yang sesuai. Mungkin hal ini lantaran obrolan mengenai kesehatan mental di negeri ini masih dianggap tabu. Oleh sebab itu, apabila merasa tidak ada yang bisa menjadi pegangan ketika merasakan suasana hati yang depresif atau tertekan (depressed mood) lebih dari dua minggu, sudah saatnya untuk kunjungi psikolog atau psikiater.

Penulis : Dian Maya Sari

  • Bagikan